Selamat Tinggal Ana

Sabtu, 28 Februari 2015 » 0


Pagi tadi, tatkala dentang waktu baru saja mengetukkan hitungan ketujuhnya, seorang sahabat datang padaku. Tampak semburat wajah penuh kesedihan yang kubaca dari dirinya. Kami duduk di teras depan. Sedikit tersengal dia berusaha mengutarakan apa yang dipendam dalam benaknya. Kusodorkan padanya sebotol air putih, tak manis memang, tapi setidaknya bisa membantu dia mengurai setiap kalimat yang hendak dia katakan. Diminumnya air putih tadi. Beberapa tetes keringat tampak mengalir pelan di sisi kening, menemani merah matanya yang terlihat sedikit sembab.

“Ada apa teman?” tanyaku memulai obrolan kami.

“Hmmh...”, tukasnya pelan seraya menjilati tetes terakhir air putih itu di bibirnya, untuk kemudian melanjutkan, ”Kamu masih ingat Ana?”

.

Sekilas ingatanku melibas puluhan waktu silam. Iya Ana. Aku mengenalnya karena dia adalah kekasih dari temanku, Yudi, orang yang saat ini atau setidaknya pagi tadi menemuiku di rumah. Perempuan yang berparas cantik, batinku saat pertama kali aku diperkenalkan oleh Yudi, tatkala dia mengajakku untuk menemuinya. Sebaris bekas luka di pipi tak mengurangi kecantikan perempuan ini.
Kusenggol bahu Yudi mencandainya.

“Beruntung kali kamu, punya pacar dia,” candaku sembari berbisik lirih.

Yudi tersenyum. Yudi adalah sahabatku. Dia adalah seorang karyawan mebel kayu di suatu daerah di Yogyakarta. Bukan seorang yang dilahirkan dari keluarga kaya. Tapi disitulah aku menghargainya. Dia tidak pernah menerawang jauh dan tinggi. Dia, lelaki yang hanya seorang lulusan SMP, itu hanya ingin bekerja dan menghidupi keluarganya kelak dari jerih payahnya sendiri. Tiap kelakar yang kerap dia lontarkan hampir selalu membuat kami berdua tertawa menikmati liku kehidupan yang terkadang tak adil. Ya dia Yudi, orang yang sederhana dengan canda yang menjadi ciri khasnya.

“Aku mengenalnya saat SMP, bro”, katanya mengusik keheningan sesaat, ketika Ana ke belakang untuk membuatkan kami minuman.

“Ohh”, jawabku singkat.

“Iya, tapi dulu aku sama sekali tidak terlalu memandangnya. Mungkin karena aku sadar, kami berbeda strata. Kamu tau lah aku siapa”, lanjutnya.

Aku mengangguk-angguk. Strata yang berbeda terkadang menjadi momok mengerikan bagi kami kaum laki-laki untuk mencoba mendekati seorang perempuan yang kami cintai. Cinta tetaplah cinta, tapi bibit bobot bebet selalu menjadi next step yang akan diajukan keluarga sebagai syarat untuk kaum kami.

“Saat reuni, aku bertemu lagi dengannya. Tapi kali ini aku masa bodoh dengan strata, bro. Aku menyukainya. Aku mencintainya. Dan aku ingin memilikinya kali ini, teman”, ujarnya dengan penuh semangat.

Aku tepuk pundaknya sekedar untuk mengiyakan apa yang menjadi hasrat hatinya. Saat itu sekitar tahun 2004. Sudah lama sekali mungkin aku harus kembali mengais-kais ingatanku untuk bisa merangkai kembali cerita waktu itu. Tak banyak yang aku tahu setelahnya, karena kemudian aku juga tenggelam dengan aktivitasku sebagai seniman kartun di sebuah studio animasi di Jogja. Hanya yang aku tahu kemudian, keluarganya kembali membawa strata itu dalam hubungan mereka berdua. Ironis. Mereka pun berpisah. Yudi kembali menekuni pekerjaannya seperti yang sudah-sudah. Dan yang aku dengar, Ana menikah dengan seorang laki-laki asal Sumatra, entah dimana aku tak tahu dan tak berusaha mencari tahu. Itu urusan Yudi dan Ana.

“Iyo Yud, aku ingat Ana. Pacarmu dulu kan? Hehehee..”, aku menyenggol pundaknya untuk mengajaknya bercanda.

Yudi hanya diam. Kediamannya membuatku merasa bersalah telah mencandainya. Matanya kembali sembab. Aku tahu kalo dia masih mencintainya. Aku juga masih ingat kaset lagu DEWA yang dia berikan sebagai kado ulangtahun kepada Ana. Band papan atas yang sama-sama kami sukai kala itu. Aku kagum dengannya. Dengan penghasilannya yang tak seberapa, dia masih bisa berusaha untuk memberikan hadiah indah yang dia dapatkan dengan hasil keringatnya untuk orang yang dicintainya. Aku malu. Sebagai seorang mahasiswa sebuah akademi komputer waktu itu bahkan aku tidak bisa memberikan apapun sebagai tanda sayangku pada perempuan yang aku cintai. Ngenes.

“Oh iya, gimana kabar Ana, Yud?” tanyaku memecah kesunyian yang sempat mewarnai obrolan kami di teras depan.

“Ana sudah meninggal, dab”, jawabnya seraya memandangku pekat, lalu melanjutkan, Saudara Ana datang tadi ke rumah. Dia hanya sebentar memberikan berita.

Jawabannya terdengar bergetar. Aku bisa merasakan kesedihan dan kehilangannya yang teramat dalam. Aku bisa memahami kenapa dia belum menikah hingga saat ini, meski jika dihitung secara usia, aku lebih muda 3 tahun darinya. Apakah karena Yudi teramat mencintai Ana, aku tak tahu.

Kalimat demi kalimat pun meluncur dari mulutnya. Menceritakan semua yang dia tahu tentang Ana padaku. Ana menikah dengan seorang laki-laki atas keinginan orangtuanya. Laki-laki yang kasar, kata Yudi, menirukan cerita dari saudara Ana yang sebenernya juga tidak setuju dengan pernikahan Ana dengan laki-laki tersebut. Ana yang terpaksa, Ana yang sayang kepada orangtuanya, Ana yang tidak mencintai laki-laki itu hingga Ana yang tidak bahagia, dia ceritakan semuanya.

Aku hanya memeluk Yudi. Dia meremas pundakku. Aku tahu kepedihan yang dia rasakan. Mencintai seseorang yang tidak diinginkan keluarga. Kemudian ketidakbahagiaan wanita yang dicintainya menjadi pesona perih yang harus dia dengarkan di kemudian hari. Dan kini, dia harus merasakan kembali kepedihan itu tatkala mendengar kabar duka tersebut. Ketidakadilan dunia serasa kembali mewarnai benakku.

Yudi, semoga Tuhan memberikan kesabaran untukmu. Semoga Dia akan berikan yang terbaik untukmu di kemudian hari nanti. Entah kapan.

“Besok temani aku mengunjungi makamnya yo dab?” ajaknya padaku.

Aku hanya mengangguk.

Selamat jalan Ana...


Plenug

Anda sedang membaca Selamat Tinggal Ana di "plenug".

It's About

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.