Lelaki itu termenung. Sebentuk tubuh tambun itu berhenti di
sebuah taman. Kemeja hitamnya terlihat lusuh. Begitupun celana jeansnya terlihat
kumal. Sepasang sepatu kasualnya tampak begitu kotor dengan tali sepatu di
sepatu kiri yang terurai tak lagi mencengkeram lubang talinya. Pun warnanya tak
lagi seputih saat dibelinya dari sebuah toko barang bekas sekian tahun lalu.
Pudar. Wajahnya terlihat penuh kelelahan, atau mungkin beban. Mata yang nanar
memandang kosong ke depan. Cambang yang menghiasi pipinya terlihat agak
kecoklatan. Sementara jenggotnya pun tak lagi rapi seperti ketika usai mandi. Di
genggaman tangan kirinya sehelai kertas yang sudah tak lagi rapi.
Pagi tadi, lelaki itu telah berhiaskan wewangian parfum
serta mengepasi setiap kemejanya. Berdandanlah layaknya akan berjumpa dengan
wanita yang dikasihinya. Wanita yang sekian lama tak pernah berjumpa, setelah
perpisahan puluhan tahun.
Baginya, pertemuan ini adalah hal yang sangat membahagiakannya. Bahkan jauh di relung hatinya, ini adalah perjumpaan yang sangat diharap-harapkannya, mungkin bahkan seumur hidupnya. Sebukit harapan pun telah disematkannya di tangga langit. Setengah gelas kopi dan sebatang rokok pun dijadikannya teman pagi.
Baginya, pertemuan ini adalah hal yang sangat membahagiakannya. Bahkan jauh di relung hatinya, ini adalah perjumpaan yang sangat diharap-harapkannya, mungkin bahkan seumur hidupnya. Sebukit harapan pun telah disematkannya di tangga langit. Setengah gelas kopi dan sebatang rokok pun dijadikannya teman pagi.
Lalu sesaat kemudian, aspal jalanan pun dilibasnya dengan
dua roda kesayangannya. Menempuhi setiap hempasan angin. Bibirnya tersenyum.
Matanya merona bahagia. Mungkin tak pernah ada rasa sebahagia itu dia rasakan. Mungkin.
Dan sampailah lelaki itu di sebuah tempat yang
mengingatkannya pada puluhan tahun silam. Tempat yang sama. Kursi yang sama,
hanya sedikit lebih kusam. Tanah yang tak lagi menghitam. Juga rerimbunan
tanaman yang tak lagi sesegar dahulu. Dahinya mengernyit. Seolah seperti
suasana pada masa silam yang terulang lagi.
De Javu.
Disapanya dedaunan itu dengan jemari tangannya.
Lalu menghitam legam dan lebur. Sampailah dia di dekat kursi, dimana dia
berjanji. Dan hanya ditemukannya sehelai kertas. Diambillah sehelai kertas
putih tersebut. Dibacanya sesaat. Lelaki itu diam. Kedua pupil matanya
meradang. Kedua bibirnya pun tak lagi terkatup. Bergumam kecil.
Lelaki itu hanya berdesis pelan. Hanya matanya yang
meradang. Tapi tak lagi bisa dia menangis. Mungkin telah kering sekian tahun
lamanya pada hal seperti ini. Kepedihan yang telah membuatnya lebih tegar. Atau
mungkin tak pernah lagi bisa merasakannya. Kertas itu hanya diremasnya.
Lelaki itu masih termenung dengan pandangan nanarnya. Tapi
sesaat kemudian dia tersenyum. Sekian puluh tahun lalu, lelaki yang sama ini
belum bisa membahagiakan wanita yang dicintainya tersebut, sampai sekarang. Dan
dia hanya berprinsip, “Jika aku tak bisa membahagiakannya, setidaknya aku tak
ingin dia bersedih”. Dia pun pergi meninggalkan taman hati tersebut, sembari
meninggalkan sehelai kertas lagi bertuliskan, “I always love you, someday we’ll
met again”. Kertas pertama diletakkannya bersebelahan dengan kertas darinya.
Dipandanginya lekat kertas dari wanita yang dikasihinya itu lekat, sebelum
pergi.
“Aku takut...”