Aku Takut ...

Jumat, 20 Februari 2015 » 0

Lelaki itu termenung. Sebentuk tubuh tambun itu berhenti di sebuah taman. Kemeja hitamnya terlihat lusuh. Begitupun celana jeansnya terlihat kumal. Sepasang sepatu kasualnya tampak begitu kotor dengan tali sepatu di sepatu kiri yang terurai tak lagi mencengkeram lubang talinya. Pun warnanya tak lagi seputih saat dibelinya dari sebuah toko barang bekas sekian tahun lalu. Pudar. Wajahnya terlihat penuh kelelahan, atau mungkin beban. Mata yang nanar memandang kosong ke depan. Cambang yang menghiasi pipinya terlihat agak kecoklatan. Sementara jenggotnya pun tak lagi rapi seperti ketika usai mandi. Di genggaman tangan kirinya sehelai kertas yang sudah tak lagi rapi.

Pagi tadi, lelaki itu telah berhiaskan wewangian parfum serta mengepasi setiap kemejanya. Berdandanlah layaknya akan berjumpa dengan wanita yang dikasihinya. Wanita yang sekian lama tak pernah berjumpa, setelah perpisahan puluhan tahun.
Baginya, pertemuan ini adalah hal yang sangat membahagiakannya. Bahkan jauh di relung hatinya, ini adalah perjumpaan yang sangat diharap-harapkannya, mungkin bahkan seumur hidupnya. Sebukit harapan pun telah disematkannya di tangga langit. Setengah gelas kopi dan sebatang rokok pun dijadikannya teman pagi.

Lalu sesaat kemudian, aspal jalanan pun dilibasnya dengan dua roda kesayangannya. Menempuhi setiap hempasan angin. Bibirnya tersenyum. Matanya merona bahagia. Mungkin tak pernah ada rasa sebahagia itu dia rasakan. Mungkin.

Dan sampailah lelaki itu di sebuah tempat yang mengingatkannya pada puluhan tahun silam. Tempat yang sama. Kursi yang sama, hanya sedikit lebih kusam. Tanah yang tak lagi menghitam. Juga rerimbunan tanaman yang tak lagi sesegar dahulu. Dahinya mengernyit. Seolah seperti suasana pada masa silam yang terulang lagi. 

De Javu. 

Disapanya dedaunan itu dengan jemari tangannya. Lalu menghitam legam dan lebur. Sampailah dia di dekat kursi, dimana dia berjanji. Dan hanya ditemukannya sehelai kertas. Diambillah sehelai kertas putih tersebut. Dibacanya sesaat. Lelaki itu diam. Kedua pupil matanya meradang. Kedua bibirnya pun tak lagi terkatup. Bergumam kecil.

Lelaki itu hanya berdesis pelan. Hanya matanya yang meradang. Tapi tak lagi bisa dia menangis. Mungkin telah kering sekian tahun lamanya pada hal seperti ini. Kepedihan yang telah membuatnya lebih tegar. Atau mungkin tak pernah lagi bisa merasakannya. Kertas itu hanya diremasnya.

Lelaki itu masih termenung dengan pandangan nanarnya. Tapi sesaat kemudian dia tersenyum. Sekian puluh tahun lalu, lelaki yang sama ini belum bisa membahagiakan wanita yang dicintainya tersebut, sampai sekarang. Dan dia hanya berprinsip, “Jika aku tak bisa membahagiakannya, setidaknya aku tak ingin dia bersedih”. Dia pun pergi meninggalkan taman hati tersebut, sembari meninggalkan sehelai kertas lagi bertuliskan, “I always love you, someday we’ll met again”. Kertas pertama diletakkannya bersebelahan dengan kertas darinya. Dipandanginya lekat kertas dari wanita yang dikasihinya itu lekat, sebelum pergi.

“Aku takut...”
 

Plenug

Anda sedang membaca Aku Takut ... di "plenug".

It's About

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.