Kedua kelopak mataku membuka. Berat memang. Kerjap-kerjap mataku berusaha membeningkan apa yang ada di depanku. Jernih kini semua ternampak sudah. Kugerakkan tubuhku. Menggeliat pelan. Lalu duduk. Kucium aroma keringatku. Aah...kecut. Tak apalah toh ini aromaku sendiri. Kesturi surga pun tak mampu menyainginya.
Sejenak bibirku tersungging senyum kecil. Masih terngiang remah-remah mimpi semalam. Berkenalan dengan seorang perempuan. Kulitnya begitu putih. Rambutnya yang lurus menjuntai dan terkadang tersibak karena kecupan angin bumi. Jaket biru serta jeans warna birunya membungkus tubuh indah itu. Gayanya yang lincah begitu terlihat catchy di mataku. Sesuatu yang belum tentu bisa aku dapatkan pada perempuan lain. Di lantai sebuah gedung kampus ungu itu awal kami berkenalan. Lembar tugas sebuah mata kuliah menjadi alasan kami berkenalan. Fa, dia memperkenalkan diri seraya menjabat jemari tanganku.
Mimpi itu kemudian membawaku ke kisah cerita indah antara aku dan Fa. Tembok-tembok keraton pun menjadi saksi bisu manakala dua roda sepeda motorku mengajaknya berkeliling kota. Kota yang tak akan pernah terlibas keelokannya oleh gerusan jaman. Kota yang akan selalu mengingatkan semesta raya pada luhurnya sebuah budaya. Pun demikian dengan jejalanan yang akan selalu mengingatkanku pada wajah manisnya. Pada kedua mata sipitnya. Pada alisnya yang jarang. Atau kedua kelopaknya yang senantiasa dihiasi warna hitam. Mengingatkanku juga pada sepeda motorku yang selalu berjasa membawa kedua tubuh kami menelusuri terik matahari.
Mimpi itu terus membawaku pada setiap potongan cerita indah yang pernah terbingkai. Pada pelukan erat di tubuh gempal ini. Pada kecupan manis kedua bibir kami. Pada setiap lagu yang menjadi pemanis setiap langkah kami berdua. Seperti soundtrack dari sebuah sinetron yang terus mengalun lirih. Pada setiap kelakar dan canda yang mewarnai setiap putaran komidi putar kisah kami. Hingga pada pelukan terakhir antara kami berdua dalam sebuah bis di sebuah terminal yang tak terkesan rapi. Lalu bis itu pun melaju memboyong sosok perempuan tersayang itu meninggalkan kota ini. Meninggalkan setiap puing harapan yang masih tersisa dalam potongan cerita kami. Lalu gelap.
Sekali lagi aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Kembali bibirku menyunggingkan senyuman. Mimpi itu telah usai, Fa. Kadang aku berharap, mimpi itu hadir kembali mewarnai kehidupanku. Kadang aku berharap, di setiap tidurku kami menjelma kembali menjadi sepasang sosok lelaki dan perempuan yang saling bercinta di sebuah kursi tua pada taman yang penuh dedaunan tua. Tapi dalam sadarku aku harus menerima kenyataan bahwa ini hanyalah mimpi. Sebuah serpihan bunga tidur dari pendaman kenangan. Hanya doa dari hati terpanjat untuknya. Untukmu Fa...
Beranjak kakiku menuju jendela kamar. Menyibakkan helai kordyn jendela lalu menyambut terang cahaya pagi di setiap pori-pori kulitku. Menyambut sebuah hari baru.
Mimpi itu telah usai...
Usai...
Sejenak bibirku tersungging senyum kecil. Masih terngiang remah-remah mimpi semalam. Berkenalan dengan seorang perempuan. Kulitnya begitu putih. Rambutnya yang lurus menjuntai dan terkadang tersibak karena kecupan angin bumi. Jaket biru serta jeans warna birunya membungkus tubuh indah itu. Gayanya yang lincah begitu terlihat catchy di mataku. Sesuatu yang belum tentu bisa aku dapatkan pada perempuan lain. Di lantai sebuah gedung kampus ungu itu awal kami berkenalan. Lembar tugas sebuah mata kuliah menjadi alasan kami berkenalan. Fa, dia memperkenalkan diri seraya menjabat jemari tanganku.
Mimpi itu kemudian membawaku ke kisah cerita indah antara aku dan Fa. Tembok-tembok keraton pun menjadi saksi bisu manakala dua roda sepeda motorku mengajaknya berkeliling kota. Kota yang tak akan pernah terlibas keelokannya oleh gerusan jaman. Kota yang akan selalu mengingatkan semesta raya pada luhurnya sebuah budaya. Pun demikian dengan jejalanan yang akan selalu mengingatkanku pada wajah manisnya. Pada kedua mata sipitnya. Pada alisnya yang jarang. Atau kedua kelopaknya yang senantiasa dihiasi warna hitam. Mengingatkanku juga pada sepeda motorku yang selalu berjasa membawa kedua tubuh kami menelusuri terik matahari.
Mimpi itu terus membawaku pada setiap potongan cerita indah yang pernah terbingkai. Pada pelukan erat di tubuh gempal ini. Pada kecupan manis kedua bibir kami. Pada setiap lagu yang menjadi pemanis setiap langkah kami berdua. Seperti soundtrack dari sebuah sinetron yang terus mengalun lirih. Pada setiap kelakar dan canda yang mewarnai setiap putaran komidi putar kisah kami. Hingga pada pelukan terakhir antara kami berdua dalam sebuah bis di sebuah terminal yang tak terkesan rapi. Lalu bis itu pun melaju memboyong sosok perempuan tersayang itu meninggalkan kota ini. Meninggalkan setiap puing harapan yang masih tersisa dalam potongan cerita kami. Lalu gelap.
Sekali lagi aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Kembali bibirku menyunggingkan senyuman. Mimpi itu telah usai, Fa. Kadang aku berharap, mimpi itu hadir kembali mewarnai kehidupanku. Kadang aku berharap, di setiap tidurku kami menjelma kembali menjadi sepasang sosok lelaki dan perempuan yang saling bercinta di sebuah kursi tua pada taman yang penuh dedaunan tua. Tapi dalam sadarku aku harus menerima kenyataan bahwa ini hanyalah mimpi. Sebuah serpihan bunga tidur dari pendaman kenangan. Hanya doa dari hati terpanjat untuknya. Untukmu Fa...
Beranjak kakiku menuju jendela kamar. Menyibakkan helai kordyn jendela lalu menyambut terang cahaya pagi di setiap pori-pori kulitku. Menyambut sebuah hari baru.
Mimpi itu telah usai...
Usai...