Aku Memilih Bungkam

Kamis, 05 November 2015 Comments Off

“Kamu masih ingat hari ulang tahunku kan?”
Aku hanya tersenyum ketika rangkaian kalimat pertanyaan itu engkau lemparkan padaku.  Tentang hitungan kelima dari sebuah penanggalan di bulan November. Sebuah hari istimewa untukmu yang selalu hadir di setiap tahun Masehi. Di saat seharusnya engkau merayakan kebahagiaan bersama semesta, aku memilih bungkam.

Aku tersenyum ketika engkau menceritakan saat teman-temanmu menghadiahimu dengan sebuah tas cantik. Di lajur-lajur jejalanan Jogja, diatas 2 roda yang masih setia menemani untuk membawa kedua pantat kita, engkau tak henti-hentinya bercerita tentang tas itu. Dan ya, aku masih memilih bungkam.

Aku pun tersenyum manakala engkau ceritakan tentang kado dari seorang kawan kecilmu. Sebuah bingkisan berwujud kaset lagu. Entah sayang entah rindu, aku tak begitu mencerna maksud temanmu itu, yang jelas aku cemburu. Di ruang tamu, bersandar di kursi kayu buatan almarhum bapak, engkau memamerkan bingkisan itu. Aku bahagia saat melihat binar keceriaan tersirat dari kedua matamu. Mungkin engkau hendak memintaku untuk mengutarakan kata ataupun kalimat. Lagi-lagi aku pun memilih bungkam.

Sekali dalam kehidupan yang pernah kita jalin saja, aku belum berhasil membahagiakanmu. Hanya untuk memberikanmu sebuah kado saja, aku belum bisa, bagaimana nanti ketika kita berumahtangga. Pikiran sok kemaki dan sok dewasa mendadak menyeruak di balik bilik-bilik otakku, menjadikanku ke-tua-tuaan. Hahahaa...

Tentu sekarang engkau sudah tahu alasanku tersebut. Dan di hari istimewa ini, 5 November yang teristimewa, aku diam. Tentu engkau pun tau alasanku. Sama seperti ketika aku mengecupmu waktu itu. Tidak memberikanmu ucapan selamat atas kebahagiaanmu yang telah bertambah hari lahir bukan alasan aku tidak mendoakanmu, bukan pula alasan aku melupakanmu dan bukan juga alasan aku membuang jauh kenangan itu.
 
Aku hanya memilih untuk bungkam.