Twice of Us

Senin, 09 Maret 2015 » 0

This day is the day. Hari yang pernah aku firasatkan akan terjadi. Kehilanganmu untuk kedua kalinya. Luka yang lama pernah berangsur sembuh tak terasa kini terasa kembali pedihnya. De Javu. Iya, persis dengan sekian puluh tahun lalu ketika situasi yang mirip aku alami. Dan kali ini pun aku akan melakukan hal yang sama. Menghilang dari pandanganmu demi untuk menyembuhkan luka ini sendirian.

Kedatanganmu dulu menghampiriku yang masih belum begitu mengerti apa arti cinta, begitu berarti. Kau ajari aku arti menyayangi. Kau berikan padaku arti dari sebuah rasa memiliki. Hati. Aku belajar. Aku berusaha secepat aku mampu untuk bisa memahami setiap ajaranmu. Hingga hati kita pun berpadu. Dalam sebuah rasa yang kita namakan cinta.

“Eh, kok nyium? Emang kita udah jadian?”, tanyamu manja waktu itu memecah keheningan sebuah siang.
Aku tersenyum. Aku rasa tak perlu sebuah kalimat yang berbelit dan panjang lebar untuk mengartikan bahwa aku cinta padamu. Ini perkara hati. Bukan ungkapan mulut. Lalu aku tersenyum saat kau sunggingkan senyum mungilmu. Aku merasa termiliki. Terimakasih sayangku. Tapi kemudian kau pun pergi. Dengan alasan yang tak mampu aku lawan. Maafkan aku sayang. Aku adalah seorang yang bodoh, tak bisa mempertahankan cinta yang pernah kita jalin bersama. Tololnya aku.

Lalu setelah puluhan tahun berlalu, engkau hadir kembali. Kau tawarkan kembali kenangan yang pernah aku bingkai. Sempat rasa cemas memenuhi relung hatiku. Aku tahu kenangan ini akan membawaku ke puluhan masa silam. Aku tahu kenangan ini akan membangkitkan rasa yang pernah aku simpan di relung hati terdalam. Dan aku tahu kenangan ini akan membawa kita berdua dalam rasa yang tenggelam. Aku ingatkan padamu sekali lagi, dan kau bersikeras bahwa ini hanya kenangan. Baiklah aku mengangguk. Dan benarlah, kenangan itu membuka semua pintu serta jendela waktu menuju ke sebuah taman yang telah tercampakkan. Sebuah taman hati. Kau ajak aku untuk membersihkan taman itu, dan aku terima. Kemudian kita duduk. Kalimat demi kalimat pun saling meluncur dari kedua mulut kita. Tawa dan canda mewarnai.


Tapi itu hanya sesaat sayang. Sama seperti ketika kita melaluinya puluhan tahun silam. De Javu. Iya benar. Karena aku menyayangimu, aku ikhlaskan kepergianmu. Meskipun... yaa meskipun aku benci dengan ini. Haruskah aku dua kali melaluinya. Kenapa? Mungkin jawaban yang bisa kamu ucapkan pun sebelas duabelas dengan waktu itu. Karena kau pun telah tahu sendiri, dari hatiku, betapa berat untuk bangkit dari keterpurukanku saat itu. Dan aku hanya tak ingin engkau tahu saat itu. Aku tak ingin kau tahu yang kurasakan karena hanya akan mengoyak kebahagiaanmu setelah tanpaku. Aku tetap ingin engkau bahagia.
“Mungkin ini adalah yang semestinya terjadi.”
Tapi, hey ini hati sayang. Bukan mainan yang biasa dimainkan untuk menghilangkan rasa jenuh. Aku sudah mengingatkanmu tentang ini, dan kau pernah bersikeras untuk mengacuhkannya. Katamu waktu itu. Waktu itu. Ingatkah? Bilapun kau lupa, aku tak mengapa. Aku tak akan memprotes bahkan kepada langit yang telah menjadi saksi. Aku akan menghilang sayang. Dari setiap sudut pandanganmu kali ini. Aku tak akan menampakkan diri lagi padamu. Karena jika pun ini adalah permainan Tuhan pun aku akan merelakan perih ini tersembuhkan sendiri seiring waktu. Ataupun jika tak akan sembuh, aku akan membiarkannya membekas lalu menjadi prasasti waktu. Prasasti yang akan selalu mengingatkanku pada dua cerita ini.

Selamat tinggal sayang...

Plenug

Anda sedang membaca Twice of Us di "plenug".

It's About

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.