Aneh. Iya aneh. Setelah kehadiranmu kemudian kepergianmu
yang kedua kini, aku kesulitan untuk menyatukan kembali kepingan ingatan itu.
Kepingan itu seperti telah pecah lagi menjadi kepingan-kepingan lain yang
serpihannya lebih kecil. Bahkan untuk memungutnya pun seperti tak mampu lagi.
Aku pun tak berusaha untuk memungutnya lagi karena dirimu pun telah melarangku.
Genggaman kita berdua pun saling terlepas. Lalu engkau pun melangkah pergi, aku pun sama Ke sisi arah yang saling berlainan. Mulanya, terasa perih dari bekas luka itu kembali menyembilukan hati.
Bahkan awalnya sempat kuurungkan untuk melanjutkan langkahku. Tapi tatkala kutengok ke
arah dirimu, aku melihat langkah-langkah kecil yang terus menapaki jejalanan
sepi kian menjauh. Iya, dirimu semakin menjauh.
"Selamat jalan...", bisikku perlahan.
Maka kemudian aku tunggu hingga
sosokmu kian mengecil di pandanganku, dan menghilang. Demi untuk kubalikkan tubuhku
kemudian melangkah lagi.
Tanganku membenarkan letak topiku. Kacamata hitam pun tak
lupa aku kenakan. Setidaknya mentari terik ini tak mampu menghanguskan kedua mataku.
Ransel pun kugendong lebih tinggi. Aku isikan di dalamnya harapan, doa serta
sejuta semangat untuk meneruskan kehidupan yang sempat tertatih. Jemari tangan
kiriku memegang erat pegangan tas, lalu jemari tangan kananku aku masukkan ke
dalam saku celana jeansku. Kutengadahkan kepalaku menatap matahari.
“Hai matahari, mari kita bersaing untuk menyambut malam,
siapa dahulu yang mampu memenggal waktu hari ini, dia berhak menyanding
rembulan", tantangku pada matahari.
Matahari mengangguk dan kami pun tertawa
bersama.