4.39 PM

Kamis, 05 Maret 2015 » 0



Kuhisap asap rokokku dalam-dalam, kemudian kuhembuskan pelan. Kepulnya pun bersimbiosa dengan oksigen sekitar, mewarna mengabu-abukan pandangan mata sesaat. Lalu kutaruh di asbak terdekat. Asapnya masih mengepul. Menari-nari di serangkaian tembakaunya yang belum usai terenggut. Aku tersenyum. Jemariku kembali bercengkerama dengan tuts-tuts keyboard laptopku. Denting klik demi klik memecah keheningan hari ini. Membubuhkan huruf demi huruf rangkaian aksara pada lembaran A4 dokumen yang tengah kuketik.

Terkadang jariku berhenti sejenak. Memainkan pensil yang ada di sebelah laptop. Berharap dari setiap putaran pensil di sela-sela jari ini mampu menstimulasi otakku agar kembali mencurahkan tiap fluktuasi ide menjadi rangkaian makna untuk bisa kuceritakan. Sesekali seduhan kafein di dalam secangkir kopi pun menghangatkan cangkang tempat otakku bersemayam. Bersahabat dengan rokok serta kopi ini cukuplah untuk menemaniku bercerita. Rangkaian kisah kehidupan yang ternarasikan dalam bait-bait kisah yang tak terlalu sempurna. Iya tak sempurna. Tak pernah ada yang sempurna dalam guliran roda kehidupan di bumi ini. Karena kesempurnaan sejati hanya milik Sang Illahi.

Kembali kuhisap perlahan batang rokokku. Menghembuskan kembali kepulan asapnya yang berduyun-duyun berhamburan. Kuseruput kembali kopi hitam pekat dan kentalku. Dua bibir kami, bibirku dan bibir cangkir kopiku, pun saling berpagut. Menikmati tiap tetes airnya menelusuri rongga tenggorokananku. Lalu kulanjutkan kembali tarian jemariku.

Mendokumentasikan setiap rekaman kehidupan bumi. Setiap perbuatan. Polah dan tingkah. Sebab dan akibat. Aku hampir selalu mempercayai bahwa setiap apa yang diperbuat insan bernama manusia, akan selalu diikuti rentetan dosa dan pahala serta karma. Aku masih terngiang masa kegelapanku beberapa waktu silam. Terkadang buliran bening airmata itu terurai menapaki setiap pori-pori pipiku. Kemudian mendarat di kaos atau kain celana, bahkan mungkin langsung terhempas ke lantai. Tapi aku pun percaya Tuhan tak serta merta mempercayai kesaksian mulut-mulut manusia lain. Tuhan tahu setiap yang aku lakukan bukanlah karena sebuah keniatan. Terdiam lalu kutarik nafas panjang, sepanjang aku mampu menariknya. Menikmati serangkaian masa lampau. Mereka yang datang dan pergi sebagai kekasih, kawan, sahabat, musuh, lawan hingga mereka yang telah mendahului untuk berjumpa dengan Penciptanya. Aku percaya karma kehidupan bumi ini senantiasa saling berselang.

Kusimpan kisah itu dalam sebuah folder. Menyimpannya erat-erat dan tak berusaha membukanya kembali. Ada milyaran perasaan yang bersemayam disana. Ada jutaan cerita gelap yang pernah menaung hidupku terbelenggu disana. Tak pernah berhasrat untuk mengusiknya kembali.

Kumatikan rokok dengan mengecupkannya dengan peraduan asbak, lalu kuteguk tetes terakhir kopiku. Selesai. Kusetel kemudian musik kesukaanku. Sandarkan kepala di kursi lalu menikmati alunannya di sela-sela telingaku. Hujan pun turun. Hening.




RadioHead – Karma Police

Plenug

Anda sedang membaca 4.39 PM di "plenug".

It's About

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.