Ch’emi Bavshvi, Quid Tam Gravis

Sabtu, 14 Maret 2015 » 1

Sebuah sepeda motor melaju melibas udara panas di sebuah siang yang mataharinya tak terlalu menyapa ramah penghuni bumi. Lelaki kumal itu tampak terburu-buru mengendarai sepeda motornya. Jadwal ketemuannya dengan seorang dosen pengajar di sebuah perguruan tinggi swasta menjadikan semua jadwal pribadinya terkesan hanya cadangan saja. Meski demikian masih ada sebuah jadwal yang hendak ditepatinya. Sepasang gelang kayu bertuliskan inisial namanya dan mantan kekasihnya tak lupa dia bawa. Sebagai sebuah hadiah permohonan maaf tulus darinya. Tak seberapa jika dibandingkan dengan cincin emas atau kalung permata, tapi setidaknya hanya itu yang mampu dia berikan.

Beberapa minggu sebelumnya lelaki itu harus melepas kepergian kekasihnya karena satu dua hal yang tak bisa dia lawan dan perjuangkan. Kesedihan memang tak pernah dia tampakkan kepada sesiapapun manusia di bumi. Apalagi kepada mantan kekasihnya. Sederhana saja, dia hanya tak ingin merubah perasaan suka masing-masing manusia di bumi menjadi sebongkah kedukaan karena rasa sedih yang dia wujudkan. Dia tak inginkan hijaunya pepohonan itu meranggas menjadi kuning yang sia-sia. Hari ini, seusai dia bertemu dengan sang pengajar, dia hanya ingin menemui mantan kekasihnya itu demi untuk memberikan sepasang gelang kayu itu padanya serta untuk mencoba merubah kembali semuanya yang pernah gagal menjadi hari-hari yang indah lagi.

Sebuah perempatan dengan lampu merahnya menghentikan laju sepeda motornya. Dia menunggu. Menunggu hingga hijau memperkenankannya untuk melaju kembali. Terik matahari tak lagi sesadis tadi. Sedikit meredup. Mendung. Senyum simpul tersungging karena harapan untuk bisa menjalin kembali hubungan asmara dengan kekasihnya akan dia perjuangkan hari itu. Tapi sepertinya Tuhan tak pernah mengijinkannya lagi mengembalikan perasaannya kepada mantan kekasihnya seperti waktu dulu.

Sebentar saja ketika lampu merah tengah beranjak menuju ke terangnya warna hijau, dilihatnya sepasang lelaki dan wanita berjalan pelan dari ujung perempatan. Degub jantungnya mendadak beralun. Darah-darah di sekujur pembuluh nadinya mengalir cepat. Matanya memerah menahan sesuatu yang entah dia pun tak bisa mendefinisikannya sebagai perasaan apa. Pasangan tadi semakin mendekat ke tempat dia berdiri menunggu lampu hijau. Lelaki itu tak pernah dia mengenalnya. Sebentuk wajahnya pun tak pernah tersimpan dalam ingatannya. Tapi wanita yang bersamanya, yaa dia tahu wanita itu, wanita yang pernah bersamanya menjalin perasaan itu. Dia adalah mantan kekasihnya. Mereka mendekat. Lalu sesaat kedua pasang mata pun saling beradu pandang. Wanita itu berteriak tercekat.
“Mas...”, hanya itu yang terlontar dari bibir mungilnya.
Kemudian lampu hijau pun menyala. Lelaki kumal itu mengalihkan pandangannya kembali ke jalan raya dengan sejuta perasaan berkecamuk di dalam relung hatinya. Marah. Cemburu. Sedih. Tapi untuk apa? Dia adalah mantan kekasihnya. Seseorang tercinta yang telah pergi dan meninggalkannya. Meninggalkan sebentuk hati yang telah berkeping pecah. Sepeda motor itu kembali melaju melibas aspal jejalanan. Hidung lelaki kumal itu kembang kempis. Matanya memerah menahan kepedihan. Jemarinya begitu kuat mencengkeram stang sepeda motornya. Baginya hari itu adalah seperti usainya kehidupan di bumi ini. Tak lagi dia temui sang pengajar. Di sebuah kantin dia duduk. Segelas es teh manis menemaninya mengatur setiap pernafasannya yang tersengal. Diambilnya sepasang gelang kayu yang dibawanya. Dipandanginya lekat-lekat sepasang gelang tersebut. Semalam suntuk dipahatnya namanya dan nama mantan kekasihnya itu pada sebilah kayu yang menjadi hiasan di tengah untaian.

Beranjaklah dia dari kantin kemudian menuju ke depan. Jemari tangan kanannya menggenggam erat gelang kayu. Gemuruh halilintar menghiasai langit yang mendung pekat siang itu. Lalu sekejab kemudian hujan pun membasahi bumi. Lelaki kumal itu berdiri. Dia marah. Dia sedih. Dia cemburu. Entah berjuta perasaan apalagi yang menghinggapi hati dan otaknya waktu itu. Diangkatnya tangan kanannya yang menggenggam sepasang gelang itu. Dipandanginya kembali lekat-lekat gelang itu. Ingatannya mengulang lagi saat di perempatan tadi. Andai saja dia tak mengindahkan kaidah-kaidah kesantunan yang telah menjadikannya laki-laki dewasa, mungkin saat itu sudah terjadi perkelahian. Tak perlu menebak siapa pemenang perkelahian itu, karena hanya setan penggoda yang akan tertawa pada akhirnya. Untuk apa? Apakah jika dia berhasil memukul lalu menginjak-injak lelaki itu kemudian dia bisa memenangkan hati sang kekasih? Belum tentu. Yang ada hanyalah dia akan semakin tak terhargai. Setelah sebelumnya dia hanya dianggap sebagai laki-laki yang bengal dengan rambut gondrongnya serta bajunya yang hampir selalu berwarna hitam dengan jahitan tak jelas.

Untuk apa mencoba menunjukkan perasaanmu jika keberadaanmu sendiri tak pernah dianggap ada lagi. Untuk apa mencoba mengulang kembali sekian perasaan itu jika wanitanya tak pernah menginginkannya lagi. Why are you so serious, when you never existed. Benarkah? Entah. Menjadi yang tersakiti itu masih lebih menenangkan daripada menjadi yang tak pernah dianggap.

Lelaki kumal itu memandang langit yang masih mencurahkan kasih air hujannya ke bumi tercinta. Tak pernah berharap bumi membalas rasa cinta kasih langit. Jemarinya menekan keras gelang kayu yang digenggamnya. Patah. Lalu dia berjalan pelan di bawah derasnya hujan agar semesta tak melihatnya meneteskan air mata. Air mata yang menghargai sebuah perasaan biarlah menjadi pengusap hati yang tengah bersedih. Perlahan kepingan gelang kayu itu terjatuh ke tanah, lalu terinjak-injak oleh sepatu-sepatu manusia yang tak pernah mengindahkan arti dari sebuah keindahan.

Sepeda motor tua itu kembali mengantarkannya melibas deras hujan dan aspal jejalanan. Kali ini dia hanya punya satu arah serta tujuan. 


Pulang.

Plenug

Anda sedang membaca Ch’emi Bavshvi, Quid Tam Gravis di "plenug".

It's About

» 1 Response to “Ch’emi Bavshvi, Quid Tam Gravis”

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.