Sebuah Toyor Di Hari Anak

Senin, 26 Juli 2010 » 2

“Ibuu…”,jerit seorang anak kecil sambil memegangi kepalanya.

“Sayang…sini sini Ibu peluk…”,panik si Ibu langsung merangkul.

“Ibu…ibu….sakit….”,tangis si anak terdengar sesenggukan.

“Ibu tahu Nak…”,si Ibu hanya bisa menangis lirih.

“Ibu, adik kan cuman pengen salaman ama bapak presiden… Tapi kenapa adik dipukul? Apa salah adik?”, sesenggukan si anak dibalut rasa protesnya.

Ibu itu terdiam. Sesenggukan tangisan anaknya lah yang kemudian memerahkan kedua matanya. Bulir bening airmatanya lalu menetes perlahan turun menapaki kedua pipi sang Ibu. Kedua mata si ibu tampak tajam mengikuti langkah demi langkah sang petugas yang telah menghadiahkan sebuah toyor (pukulan di kepala) untuk anaknya hanya karena anaknya ingin bersalaman dengan sang presiden. Hanya demi untuk bersalaman dengan sang idolanya mungkin, dia berdesakan dengan yang lainnya, tapi sepertinya hal itu dinilai sang petugas sebagai sesuatu yang menjadikan penghalang jalan. 

Cerita di atas hanyalah narasi belaka dari apa yang membenak di otak saya manakala saya membaca insiden yang terjadi pada Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli 2010 kemarin di Sasono Langen Budoyo TMII. Lalu kemudian apa yang menjadi pertanyaan saya adalah, kenapa petugas bisa sedemikian tega melayangkan sebuah bogem aka toyor kepada seorang anak kecil yang hanya ingin menjabatkan jemarinya dengan sang idola, Presiden Indonesia?

Insiden ini tentu saja secara langsung akan membuat penilaian anak-anak menjadi negatif kepada Presiden. Bahwa Presiden gak mau diajak salaman lah, atau Presiden sombong lah, dll. Lalu saya sedikit geli melihat salah satu media yang memberitakan hal tersebut. Di dalamnya terdapat secuplik kalimat bahwa pihak istana sudah menghubungi pihak keluarga lalu meminta maaf dan segera akan mengusut pelaku. Tapi di beberapa baris di bawahnya terdapat kalimat bahwa istana sejauh ini membantah bahwa pemukulan dilakukan oleh pasukan pengamanannya. Kegelian saya adalah, bahwa insiden ini adalah sebuah insiden yang bersifat umum mengingat bahwa acara yang tengah digelar merupakan acara nasional. Kedua, bahwa yang terjadi kemudian adalah peristiwa antara pasukan yang mengamankan presiden, seorang anak kecil yang merupakan salah satu bagian dari masyarakat serta presiden sendiri selaku pemimpin negara. Bukankah sebaiknya jika permintaan maaf tersebut dilakukan dengan ditayangkan media juga. Agar masyarakat juga tidak sampai salah persepsi dan menduga-duga hal negatif lain. Atau mungkin bisa saja dengan menertibkan pengamanannya atau memilah orang-orang yang menjadi petugasnya dalam setiap acara nasional atau apapun yang bersifat kenegaraan.

Hal tersebut juga untuk mengintrospesikan diri untuk para petugas pengawal agar sedikit menggunakan nurani untuk menghormati masyarakat. Setidaknya hal sama yang ditulis oleh Hendra NS.

Plenug

Anda sedang membaca Sebuah Toyor Di Hari Anak di "plenug".

It's About

» 2 Response to “Sebuah Toyor Di Hari Anak”

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.