The Last Airbender ( review )

Kamis, 29 Juli 2010 » 2

The Last Airbender
Pada mulanya saya sempet surprise sorak-sorak sedikit njoged India dengan kemunculan teaser dari The Last Airbender yang berdurasi 1menit 42detik pada pertengahan 2009. Teaser yang memperlihatkan keahlian si Aang yang memainkan tongkat dan kemampuan pengendalian udaranya di dalam sebuah gua, dilanjutkan dengan kedatangan kapal-kapal dari negara api. Namun yang sempet membuat saya mengerutkan dahi adalah sutradaranya yaitu M Night Syamalan. Sutradara yang lebih kondang dengan cerita misterinya ini diamanahkan untuk membuat sebuah film semi-epik yang berdasarkan dari sebuah film animasi serial yang sudah digandrungi seluruh dunia, Avatar The Last Airbender. Mampukah sang Syamalan?

Perburuan trailer pun segera digencarkan. Sampai kemudian terkumpul 3 buah trailer yang memperlihatkan kemampuan pengendalian udara Aang, Katara dengan water bender-nya, juga Zukko dengan pengendalian apinya. Sedikit membuat saya shock, ketika beberapa casting untuk karakter tidak pas. Seperti pemeran Iroh, paman dari Zukko, yang dalam film animasi digambarkan gendut jenaka, di movie menjadi kurus dan sedikit serius, juga untuk si Raja Api, Ozai, yang tidak terlalu kelihatan kebengisannya. Tapi itu soal lain, sebab seperti Transformer juga memberikan pembedaan karakter robot-robotnya, dan mampu melejit ke box office. Aku membayangkan hal itu juga terjadi di The Last Airbender ini. Bahkan trailer terakhir yang keluar adalah trailer yang memperlihatkan Momo, kera terbang dari suku udara. Menguatkan niat untuk menyaksikan film ini di theatre bersama sang istri. Pengen njajal romantisme layar tancep jueww...Hehehe…

Tapi kemudian terjadi perubahan jadwal tayang dari 2 Juli menjadi Agustus. Gandrik!!! Ganti jadwal kok biyayakan..?!?! 2 Juli adalah jadwal tayang untuk daerah Amrik dan sekitarnya. Sedangkan di wilayah Eropa dan Asia, dijadwalkan bulan Agustus. Tak terlalu menjadi masalah bagiku sebenarnya. Problem terbesarnya adalah kemudian, mereka yang berdomisili di Amrik memberikan thread dan review di kaskus mengenai The Last Airbender. Ironisnya, hampir semua review itu tidak satupun yang menilai bagus malah kebanyakan reviewnya njengking sak modyare. Bahkan cenderung mencela sang sutradara Sixth Sense, Syamalan. Dari mulai casting yang tidak pas, cerita yang terlalu dipaksakan, sampe ke akting yang buruk dari pemain-pemainnya mewarnai review The Last Airbender. Tidak hanya di kaskus, bahkan The IMDb selaku situs film terbesar yang sering melakukan review film, pun hanya meratingkan untuk film ini 4 dari keseluruhan yang bernilai 10. Aku semakin penasaran dengan film yang serial animasinya digemari seantero dunia. Ada apa, kenapa, kok iso, mosok?

Dan pada akhirnya, salah seorang sahabat dari dunia animasi (emange ono berapa dunia cuk?) bernama Wilsa memberikanku sebuah download dari The Last Airbender the movie ini walaupun hanya versi cam. Begitu sampai rumah segera kusetel juga video tersebut. Dan benarlah adanya. Dari beberapa yang digambarkan dalam thread maupun review semuanya benar. Pengulangan dialog di kebanyakan scene yang membuat bosan, alur scene yang sering jumping, hilangnya sense art di beberapa adegan, hingga penaskahan yang sepertinya tidak matang menjadikan dialog pemain yang buruk, serta yang paling mencolok adalah hilangnya adegan humor segar, membuat film ini memang terlalu bagus untuk dinilai sebagai sebuah film yang layak tonton.

Official Poster
Mengadaptasikan dari serial animasi ke dalam sebuah film layar lebar tentu merupakan hal yang tidak bisa dibilang mudah. Banyak plot yang harus dirangkum sehingga menjadi kesatuan cerita yang enak dilihat serta mudah dipahami, bahkan oleh penonton yang bukan berasal dari penggemar serial animasinya. Tapi yang terjadi disini seakan-akan adalah sebuah keegoisan semata untuk memaksa penonton mengerti alurnya dengan cara dipaksakan ceritanya. Dan yang terjadi adalah kebingungan untuk mengetahui plot-plot yang berjalan. Seperti ketika Aang masih di dunia nyata lalu tiba-tiba masuk ke dalam dunia Avatar. Untuk yang sudah pernah melihat versi animasinya, tentu tidak terlalu menjadi masalah, namun bagi yang buta sama sekali dengan Avatar Last Airbender, tentu akan mengalami kebingungan setengah modyar. Sepertinya sang executive producer, yakni Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko, tidak terlalu banyak berperan dalam penulisan naskahnya.

Bagi yang menganggap scripting/penaskahan adalah hal yang mutlak harus sempurna dari sebuah film, maka film ini merupakan film dengan penaskahan yang buruk. Efek digital yang halus dan indah dari Industrial Light and Magic miliknya George Lucas yang membuat film ini agak lumayan ditonton sekedar sebagai film hiburan. Bukan sebagai film yang didasarkan dari sebuah serial animasi yang megah. Itu review yang bisa aku tulis sebagai salah satu penggemar film seri animasinya yang ditayangkan salah satu televisi swasta, yang mungkin terlalu mengekspetasikan terlalu tinggi. Hingga akhirnya terpuaskan kepenasaranan dengan melihat versi camnya. Yeachh paling gak, aku bisa membunuh rasa penasaran akan review dan rating The Last Airbender dengan menyaksikan filmnya daripada mbranyaki dengan buruknya review yang ada.

Semoga di sekuelnya ada perbaikan naskah serta pergantian sutradara (kudu), paling gak bisa disejajarkan dengan trilogy Lord of The Rings. Huufftt...

Plenug

Anda sedang membaca The Last Airbender ( review ) di "plenug".

It's About

» 2 Response to “The Last Airbender ( review )”

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.