Maruk dalam beberapa artian tertentu adalah keinginan untuk memiliki sesuatu secara berlebih bahkan melebihi apa yang dimampuinya. Tidak merasa puas dengan apa yang sudah dicapai. Cenderung berusaha mencapainya bahkan dengan menempuh cara-cara yang tidak dipedulikan benar tidaknya. Lalu sebenarnya apa dari arti maruk sebenarnya? Dalam satu definisi, maruk diartikan sebagai hasrat atau keinginan berlebih/eksesif untuk sesuatu.
Dalam definisi di atas, kata yang perlu kita garis-bawahi adalah “eksesif/berlebihan”. Setiap orang tentunya mempunyai kebutuhan dan juga keinginan. Adalah suatu hal yang wajar jika kita ingin lebih pintar, lebih cantik, lebih kuat, atau juga lebih kaya. Tetapi tentunya bukan sesuatu yang wajar ataupun sehat jika keinginan-keinginan semacam itu kita ikuti secara berlebihan/eksesif. Segala sesuatu yang eksesif dan berlebihan akan selalu menimbulkan ekses dan dampak yang negatif. Bahkan hal-hal yang “baik” pun jika dilakukan berlebihan malah akan berbalik menjadi “tidak baik”.
Lalu kenapa maruk menjadi tema tulisan kali ini? Tidak lain adalah karena sifat dan karakter dari maruk tengah menyeruak sedemikian hebatnya dewasa ini. Hampir kebanyakan orang tengah “menderita” penyakit hati satu ini. Beberapa tipikal orang tentu pernah kita temui dan kita sama-sama menuju kesepakatan bahwa itu adalah sifat maruk.
Seperti para pejabat parlemen dan pemerintahan yang meskipun telah duduk di kursi parlemen yang (seharusnya) mulia tapi serasa masih kurang dalam mencukupi kebutuhan, kehidupan serta untuk menopang pekerjaannya. Gedung dan mobil mewah menjadi salah satu “tuntutan” mereka untuk menopang kerjanya agar menjadi lebih baik. Kesejahteraan pribadi dengan parameter yang tidak jelas pun menjadi tuntutan primer. Tidak cukupkah gaji mereka (yang diatas rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia secara umum) sebagai anggota dewan selama ini? Apa yang menjadi kekurangan mereka? Sedangkan selama ini belum satu pun hasil kerja mereka yang bisa dinilai sebagai kepuasan publik dan bernilai positif.
Contoh lain adalah tumbuhnya kapitalisasi penguasaha lokal di seantero negeri. Berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sesedikit-sedikitnya memang prinsip utama dalam sistem ekonomi sebuah badan usaha. Tapi kesejahteraan untuk para karyawannya pun seharusnya juga diperhatikan. Tidak karena kemudian mendapatkan keuntungan dari sebuah project sedemikian besar tapi demi pengiritan serta pengelolaan keuntungan yang seminimal mungkin tanpa distorsi arus bawah, lalu karyawan ditekan dengan berbagai aturan serta pemberian upah yang timpang dengan keuntungan yang didapatkan perusahaan. Apalagi dengan sistem yang belum stabil dan semrawut. Sebuah statement dari salah seorang kawan masih teringat di kepala, “Kesalahan terbesar dari seorang bos adalah menganggap karyawannya sebagai PEKERJA bukan sebagai ASET”. Karyawan adalah sebuah aset yang tidak ternilai bahkan oleh alat dan media dengan teknologi mutakhir sekalipun.
Menjamurnya calon-calon kapitalis kecil pun turut mewarnai menyeruaknya sifat maruk. Usaha-usaha kecil yang baru saja menancapkan brand pertama mereka telah mulai memakai cara perhitungan maruk meski dalam taraf kecil juga. Berusaha mengambil semua penawaran kerjasama yang ada padahal tidak mempunyai sistem serta SDM yang memadai. Tapi kenapa tetap saja dipaksakan? Dan begitu telah sampai di tenggat waktunya, mereka minta mundur. Bahkan meski sudah menggunakan legal letter sekalipun. Kebanyakan kemudian memojokkan dengan hal-hal yang mencengkeram sisi kemanusiaan kita, seperti ada kerabat yang sakit lah, mendadak kecelakaan lah, dll. Kalau memang tidak sanggup untuk mengerjakan kenapa tidak mengatakan dari awal? Tentu saja karena giuran nominal uang dari project yang ada terkadang membuat seseorang menjadi gelap mata.
Kekayaan tidak akan membuat anda menjadi cerdas, khususnya cerdas dalam menyikapi sesuatu selain hal-hal yang berhubungan dengan uang.
Tidak banyak orang yang mampu membebaskan diri dari uang. Bahkan berusaha laripun uang akan tetap mengejar. Membebaskan diri dari uang bukan jalan satu-satunya untuk menjadi tidak maruk. Yang perlu dilakukan cukup hanya dengan belajar memahami hubungan antara uang dan hidup kita. Menemukan komposisi yang paling ideal.
homo homini lupus
cokot-cokotan