Bangku Taman

Jumat, 09 Desember 2011 » 0

“Dik, maafkan aku. Saat kau menerima sms ini, aku telah berada di kampung. Kau tidak usah mencariku karena aku tidak akan kembali. Terimakasih atas semuanya. Semoga Tuhan memberikan jodoh yang terbaik untukmu. Maaf jika aku bukan laki-laki yang baik untukmu. Ponselku akan mati.”
 
Sebaris kalimat berpresentasi di layar telepon genggamnya. Sebaris kalimat yang hendak dikirimkannya lewat sms kepada pacarnya disana. Laki-laki itu terdiam. Matanya terlihat sembab. Sisa-sisa linangan air mata entah kesekian lama pernah berderai menyisiri kedua pipinya, telah membekas. Jemari tangan kanannya terlihat kian erat menggenggam telepon seluler warna hitam dengan keypad yang terlihat telah kusam. Layar telepon pun meredup perlahan.

Ingatannya pun menerawang ke masa sekian lama dulu dia bertemu dengan pacarnya. Di sebuah bangku taman yang catnya telah usang. Beberapa warnanya telah berharmoni dengan karat besi. Laki-laki itu duduk. Sebuah buku digenggamnya. Kedua matanya sibuk mengartikan setiap bait-bait kata yang membentuk kalimat pada setiap paragraf cerita. Tak digubrisnya sepasang burung gereja yang tengah bermain dengan helai-helai jerami kering. Atau ketika barisan semut berjalan diantara kelupas cat bangku yang dia duduki. Dia tetap khusyuk membaca.

Lalu wanita itu datang. Meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Berkaus warna biru dengan balutan syal warna coklat muda. Celana kasual warna krem menghiasi sintal tubuh bawahnya. Rambut yang lurus sebahu diikat ke belakang. Cantik. Dipersilakannya wanita itu duduk di sebelahnya. Wanita itu kemudian duduk. Agaknya kekhusyukannya membaca harus beristirahat sejenak demi menyambut kehadiran ciptaan Tuhan yang indah ini. Wanita itu tersenyum. Dan senyum itulah yang mengawali semuanya. Bergulirlah kata demi kata saling bertukar menjadi cerita diantara mereka berdua. Di bangku taman itu.

Bangku taman itu pun menjadi awal bagi mereka berdua untuk menjadi semakin dekat. Dan tak ada seorang manusia pun yang terkejut ketika kemudian mereka berdua menjalin ikatan saling setia sebagai sepasang kekasih. Masa demi masa yang indah dan getir mereka berdua lalui berdua. Ketika mereka tertawa bersama saat hujan tiba-tiba mengguyur dan mereka lupa membawa payung. Atau ketika dia marah dan bertengkar dengan seseorang karena orang tersebut hendak mencopet dompet kekasihnya. Ataupun ketika kekasihnya jengkel karena dia lupa menjemputnya. Waktu demi waktu terus bergulir. Tak terasa dua tahun telah berlalu semenjak pertemuan  mereka di bangku taman.

Laki-laki itu masih terdiam di kamarnya ketika ingatannya telah kembali dari masa lalunya. Sudah tiga hari ini dia tidak menelepon atau hanya sekedar melemparkan senyuman di sms untuk kekasihnya. Sudah tiga hari itu pula telepon genggamnya dinonaktifkan. Dan baru hari ini diaktifkan kembali dan entah sudah berapa puluh sms yang masuk karena pending. Sms dari kekasihnya menempati rekor terbanyak. Sementara itu telepon genggam masih bergelayut di jemari tangan kanannya. Untai kalimat yang diketiknya tadi masih utuh menempel di layar teleponnya. Agaknya begitu berat sekali untuk mengirimkan kalimat tersebut untuk kekasihnya. Wajahnya terlihat menampakkan kesedihan yang teramat dalam.

Masih terngiang kalimat yang meluncur dari dari sahabatnya tadi siang kepada orangtuanya, seusai keduanya memeriksakan sakit di kepalanya yang mengakibatkannya sempat pingsan. Rasa penasaran karena mendengar sahabatnya hendak berbincang serius dengan orangtuanya manakala dia tengah beristirahat di tempat tidurnya. Di ruang tamu rumahnya, sahabatnya dan kedua orangtuanya berbincang serius namun lirih. Mungkin agar dia tak mendengarnya. Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa sakit di kepalanya. Perlahan dia berjingkat untuk menguping pembicaraan antara sahabatnya dan orangtuanya. Lalu, sebaris kalimat membuat orangtuanya terisak. Membuatnya terhenyak. Degup jantungnya serasa berhenti sejenak melantunkan dendang aliran darah ke seluruh penjuru tubuh.

“Pak, maafkan saya, tapi dokter bilang dia kena kanker otak. Hidupnya paling lama mungkin hanya 2 bulan lagi...”

Kalimat itu terus menerus berdenging di kepalanya. Matanya sembab. Tubuhnya berguncang. Tangisnya sepertinya wujud goresan luka yang teramat dalam dia rasakan. Tak lama kemudian jemari tangan kanannya bergerak di antara keypad telepon genggamnya. Kalimat tadi masih berbaris utuh di layar telepon genggam. Dia ingin sekali mengirimkan sms itu pada kekasihnya. Tapi dia juga tidak ingin kekasihnya menjadi sedih. Bimbang dan pedih berkolaborasi menjadi satu harmoni yang berujud getir.

Kedua matanya sembab menahan pedih. Sesaat kemudian dimantapkanlah hatinya. Ibu jari tangan kanannya bergerak menekan tombol untuk mengirimkan sms tadi. Berbarengan dengan linangan air matanya yang terurai diantara kedua pipinya. Serta detak jam dinding kamarnya yang terdengar semakin bertalu.

Terdengar dering nada di telepon genggamnya. Muncul secarik pesan dari operator.

SMS was delivered.

Plenug

Anda sedang membaca Bangku Taman di "plenug".

It's About

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.