Hujan belum berhenti. Masih deras. Aku bisa merasakan dari setiap kelakar derasnya yang menghujam diatas genting. Sorak sorai derainya. Beberapa cipratan airnya menampar kaca jendela kamar pengapku. Beberapa helai daun masih menari diantara kecipak derasnya air hujan yang mendera. Bergoyang dan menari seolah mengajakku untuk ikut berdansa.
Sebatang rokok masih terselip diantara sela-sela jemari tangan kiriku. Diam dan pasrah untuk terus kuhisap hingga pangkalnya yang halus. Terkadang berputar diantara dansa serta tarian jemari yang lincah. Sementara untaian asapnya yang melenggak lenggok kesana kemari semakin memperindah tarian duet tiga jemari dan sebatang rokok. Sesekali kuhisap kembali pangkalnya. Sedikit hangat memang. Dan presentasi nikotin itu memang dahsyat, membuat paru-paruku sedikit menggelinjang.
Secangkir kopi susu hangat pun tak pernah lalai menemani pula. Diam. Khusyuk. Tepekur di pinggir. Kepul uapnya masih kentara. Perlahan 5 jemariku yang lain meraihnya. Cangkir kopi susu itu. Mendekatkannya ke bibirku. Kedua bibir kami pun saling berpagut. Nikmat. Kemudian kuletakkan kembali ke cawannya. Kunikmati sisa-sisa tetesnya yang berkerumun di sela bibir dan lidahku. Sedap.
Hujan masih terus mengguyur. Derainya masih terdengar riuh dari kamar pengapku. Aku masih duduk di lembaran karpet biru usang. Di jemari tangan kananku kini tergenggam selembar amplop putih. Sehelai lembar putih kertas aku simak. Bibirku penat untuk sunggingkan senyuman. Tertera nominal gajiku bulan kemarin. Agak lama kedua mataku memandanginya. Sementara lembar-lembar biru dan merah bernominal masih berbaring di dalam dekapan amplop putih. Melirik pun tidak. Terserah.
Kedua kakiku yang tertekuk bersilangan, kusilangkan kembali. Bersila. Sedikit kesemutan. Kuhisap kembali rokokku yang telah gugur setengah batangnya menjadi abu di peraduan asbak. Jemari tangan kananku mengatup. Meremas perlahan helai kertas putih yang aku genggam tadi. Lalu kulempar ke sebuah keranjang berwarna hijau muda. Masuk! Biasa saja. Tidak ada sorak sorai mengelu-elukannya. Kubuka kembali tangkupan amplop tadi. Kunikmati dan kulumat dengan habis semua warna-warna lembaran nominal biru dan merah itu dengan mataku hingga jengah. Kemudian kututup kembali. Jemari kiriku berdansa lagi. Tapi kali ini menghujamkan sisa batang rokok itu ke asbak. Selesailah hidupmu.
Kupandangi kembali kaca jendela kamarku. Perca-perca air hujan masih bergelayut di mukanya. Lalu saling melorot turun. Hujan telah reda. Tak lagi riuh menari di atap. Hening. Kulipat kembali amplopku kemudian kumasukkan ke dalam tas warna hitam kumalku. Kuraih lagi cangkir kopi susuku kemudian memagutkan kembali bibirnya dengan bibirku. Mantap. Jam berdentang duabelas kali. Hari ini telah bertandang, mengawali hadirnya Desember dalam bagian kehidupanku. Semoga saja tidak kelabu. Kututup tirai jendelaku. Kedua kelopak mataku pun terkatup. Selamat tidur.
Hujan kembali turun. Lebih deras.
Sepoi - sepoi senandung lagu Desember milik Efek Rumah Kaca terdengar mengalun dari player mp3 telepon genggamku.
Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam
Smoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis hujan dibulan desember,
Di bulan desember
Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka
Dibalik awan hitam
Smoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis hujan dibulan desember,
Di bulan desember
Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka