Getir

Rabu, 30 November 2011 » 2

Rambutnya kusut, panjang tak terawat dan tak sedikit pun melambai bagai iklan televisi. Sesekali dua tiga ekor kutu berjalan menyisiri helai demi helainya. Wajahnya pias. Daster compang camping berwarna merah muda dan bermotifkan bunga-bunga yang tak lagi cemerlang warnanya membungkus dan menghiasi tubuhnya. Melorot sebelah dan memperlihatkan tali kutangnya yang juga telah berwarna usang. Kumal, dekil, lusuh dan aroma tubuhnya tak menyiratkan sekilas pun wewangian pabrik. Hanya kerumunan lalat yang berani dan bangga untuk mengitari diantaranya.

Sebuah sandal kucel berwarna biru menghiasi telapak kaki kanannya yang kusam, sementara tas plastik hitam sobek dan sedikit compang camping membungkus telapak kaki kirinya. Kuku di ibu jari kaki kirinya terlihat panjang dan patah menghujam ke atas. Tentu sakit sekali andai dia bisa merasakan.

Pandangan matanya kosong menatap ke depan. Nanar tak berujung namun menuju sebuah kepastian di depan. Seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang pernah direncanakannya di masa yang lampau. Masa lampau yang pernah dan hampir pasti menjadi bagian dalam sebuah kehidupannya.

Kusam kulit tubuhnya serta daki-daki yang menjadi bedak badannya, melayukan setiap pandangan mata kepadanya. Beberapa ikat karet gelang menghiasi lengan bawah tangan kirinya. Ujung-ujung kuku jari tangan kiri dan kanannya terlihat menghitam legam serta panjang tak terawat. Sementara tangan kanannya menggenggam erat sebuah kotak kecil berwarna merah.

“Kenapa kamu tidak datang? Kenapa kamu tidak jadi datang?”

Perempuan itu masih berdiri diatas tanah tempatnya semula berdiri. Kedua kakinya sedikit bergetar. Kelelahan. Mungkin. Telapak tangan kirinya mengepal keras. Matanya kembali sembab. Meneteskan air mata yang entah sekian kali telah keluar dari pelupuk matanya yang memerah. Bibirnya bergumam tak jelas lirih. Sementara itu jemari-jemari telapak tangan kanannya bermain dengan kotak kecil merah hatinya.

Tak jelas karena apa, mungkin saking kelelahan, kotak kecil berwarna merah hati itu terlepas dari genggamannya. Melayang jatuh ke tanah. Tutupnya membuka. Sepasang cincin emas terlihat terlempar keluar dari dalamnya. Lalu tergeletak diam. Sebuah cincin bertuliskan ARDHIAN, dan sepasang cincin lain bertuliskan nama RIANI. 

Di belakang perempuan itu berdiri, seorang ibu setengah baya berdiri. Wajah ibu itu memperlihatkan kesedihan serta kegetiran yang tak mampu dilukiskan. Derai air mata membasahi kedua pipi sang ibu yang telah mengeriput karena usia.

“Riani, ayo pulang nak. Ikhlaskan dia...ikhlaskan...ibu mohon...”

Perempuan itu tetap diam. Matanya tetap nanar memandang kosong ke depan. Lurus ke depan. Di depannya terpampang puing-puing sebuah jembatan yang pernah ambruk sekian lama dan telah memakan korban puluhan nyawa. Bibirnya tersungging senyuman hambar. Lalu bergumam lirih.

“Kamu jadi datang melamarku hari ini sayang?”

Plenug

Anda sedang membaca Getir di "plenug".

It's About

» 2 Response to “Getir”

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.