Tradisi Menjelang Puasa

Selasa, 03 Agustus 2010 » 2

Siang itu matahari masih bersinar tapi teriknya yang memangkas segala kerinduan bumi pada tangis langit tak terlalu digubris manusia-manusia muda yang berlarian riang. Langkah-langkah mungil yang menapaki cepat gurat-gurat bumi itu menuju ke sebuah pemakaman. Sekurangnya lima wajah lucu menyembul diantara pepagaran makam. Pandangan mereka agaknya berusaha untuk menjelajahi keseluruhan pemakaman. Hingga kemudian senyum riang tersungging di wajah mereka, saat terlihat oleh mereka sepasang suami istri dan seorang anak kecil tengah berjongkok di sebuah batu nisan. Kelimanya masih menunggu. Sambil sesekali bersenggolan canda ria layaknya anak-anak merdeka lain di bumi yang belum merdeka sebenarnya. Kaos oblong, celana kolor tanpa memakai sandal adalah kostum keseharian lima manusia-manusia penerus masa depan yang akrab serta penuh canda tawa tersebut.

panduan kaligrafi
Sementara itu, sepasang suami istri dan seorang anaknya tampak telah berdiri, mengusaikan keberjongkokan mereka pada batu nisan. Langkah demi langkah mereka menuju pintu pagar makam, disambut senyum ramah kelima anak. Sang suami, memasukkan jemari tangan kanannya ke dalam saku celana, lalu kemudian telah terlihat lima keping uang seratusan rupiah. Masing-masing anak diberikannya sekeping seratus rupiah. Terimakasih lah, kata yang kemudian mengalun ramah dari mulut-mulut kelima anak. Sang suami dan istrinya tampak tersenyum. Kelima anak itu lalu berlarian riang meninggalkan pemakaman menuju ke warung jajan.

Yup, itu hanya narasi semata dari sebuah tradisi “Golek Wong Ngirim”. Sebuah tradisi yang acap dilakukan oleh anak-anak kecil di desa-desa seusai tradisi “Nyadran” dilakukan. Tradisi pemberian uang jajan dari para penjenguk makam yang selesai “Nyekar” kepada anak-anak kecil yang telah menunggu di pintu makam untuk menerima uang berkah dari para peziarah. Nyadran itu sendiri adalah sebuah laku tradisi berupa pemberian doa dari para ahli waris makam dalam sebuah pengajian yang kerap dilakukan di dekat area pemakaman. Biasanya para ahli waris akan membawakan masakan ala kadar yang dibungkus bisa kardus bisa besek. Lalu ada bungkusan kecil yang diberikan kepada Mbah Kaum (pemimpin agama lokal yang dituakan dalam sebuah lingkup kampung) juga kepada mereka yang tidak mampu membuat. Nyekar (berasal dari kata sekar/bunga) adalah sebuah tradisi menziarahi leluhur di pemakaman, biasanya selesai berdoa, dilanjutkan acara menaburkan bunga di pusara makam.

Masihkah tradisi-tradisi itu ada dan dilakukan? Bukan tidak mungkin tradisi itu seiring waktu akan dilahap jaman. Mengingat bahwa upaya untuk melestarikan serta nguri-nguri kebudayaan terutama yang ada hubungannya dengan leluhur sudah mulai dilupakan. Kalaupun tidak melupakan, lalu akan diganti dengan istilah pengharaman tradisi lalu menggantinya dengan tradisi lain yang sama sekali bukan tradisi ketimuran setempat. Dan kita akan semakin hilang jati diri kenusantaraan kita sendiri.  
Mari kita jaga benteng kebudayaan kita, sebab jika bukan kita lalu siapa lagi?

Plenug

Anda sedang membaca Tradisi Menjelang Puasa di "plenug".

It's About

» 2 Response to “Tradisi Menjelang Puasa”

  • itempoeti says:

    seringkali yang terjadi adalah Arabisasi dengan kemasan islamisasi sebagai pembenar atas pengharaman terhadap warisan tradisi kearifan lokal...

    akhirnya..., islam tak lagi rahmatan lil alamien...
    tapi cuma sekedar rahmatan lil Arabien...

  • plenug says:

    bener kang mahendra,arabisasi tanpa tau maknanya sendiri,hanya karena Kanjeng Rasul Muhammad SAW lahir di Arab lalu menganggap semua yang dari Arab adalah mulia adanya hingga memperkecil kenusantaraan kita sendiri.

Leave a Reply

Kemerdekaan berbicara adalah milik semua bangsa tanpa strata apapun! Dibebaskan berkomentar disini. Terimakasih.