“Kamu masih ingat hari ulang tahunku kan?”
Aku hanya tersenyum ketika rangkaian kalimat pertanyaan itu engkau lemparkan
padaku. Tentang hitungan kelima dari
sebuah penanggalan di bulan November. Sebuah hari istimewa untukmu yang selalu
hadir di setiap tahun Masehi. Di saat seharusnya engkau merayakan kebahagiaan
bersama semesta, aku memilih bungkam.
Aku tersenyum ketika engkau menceritakan saat teman-temanmu
menghadiahimu dengan sebuah tas cantik. Di lajur-lajur jejalanan Jogja, diatas
2 roda yang masih setia menemani untuk membawa kedua pantat kita, engkau tak
henti-hentinya bercerita tentang tas itu. Dan ya, aku masih memilih bungkam.
Aku pun tersenyum manakala engkau ceritakan tentang kado
dari seorang kawan kecilmu. Sebuah bingkisan berwujud kaset lagu. Entah sayang
entah rindu, aku tak begitu mencerna maksud temanmu itu, yang jelas aku cemburu.
Di ruang tamu, bersandar di kursi kayu buatan almarhum bapak, engkau memamerkan
bingkisan itu. Aku bahagia saat melihat binar keceriaan tersirat dari kedua
matamu. Mungkin engkau hendak memintaku untuk mengutarakan kata ataupun
kalimat. Lagi-lagi aku pun memilih bungkam.
Sekali dalam kehidupan yang pernah kita jalin saja, aku
belum berhasil membahagiakanmu. Hanya untuk memberikanmu sebuah kado saja, aku
belum bisa, bagaimana nanti ketika kita berumahtangga. Pikiran sok kemaki dan
sok dewasa mendadak menyeruak di balik bilik-bilik otakku, menjadikanku
ke-tua-tuaan. Hahahaa...
Tentu sekarang engkau sudah tahu alasanku tersebut. Dan di
hari istimewa ini, 5 November yang teristimewa, aku diam. Tentu engkau pun tau
alasanku. Sama seperti ketika aku mengecupmu waktu itu. Tidak memberikanmu
ucapan selamat atas kebahagiaanmu yang telah bertambah hari lahir bukan alasan
aku tidak mendoakanmu, bukan pula alasan aku melupakanmu dan bukan juga alasan
aku membuang jauh kenangan itu.
Aku hanya memilih untuk bungkam.