Archive for April 2013

Bajindul

Kamis, 25 April 2013 » 0

Entah masih sore atau hari sudah beranjak malam, ketika kutapakkan kakiku di rumah. Desir udara kampung memang memberikan nuansa yang berbeda untukku yang sudah sekian lama menjejalkan nasib di kota kecil Jawa Tengah. Bersama salah seorang kawan sekantor - yang ingin turut menginap di rumahku, kuketuk pintu rumah, dan dibukakan oleh istriku tentu saja. Kami pun masuk rumah. Hening. Anakku terlihat menangis sesenggukan. Ada apa? Aku bergegas mencuci kaki sembari menunggu untaian cerita dari istriku.

“Ada hantu Yah”, kata istriku membuka obrolan serius malam itu.

“Ah, tenane? Darimana kamu tahu?” tanyaku sambil kedua katup bibirku terus sibuk mengunyah mendoan hangat yang baru saja terangkat dari penggorengannya yang telah menghitam.

“Iya Yah. Hampir tiap malam ada suara yang memanggil-manggil nama anak kita, juga aku, Yah”, tukas istriku cepat.

Aku masih terus melanjutkan kunyahanku di tiap-tiap jengkal mendoan yang terasa menyibak-nyibak gusi-gusiku. Aku juga takut dengan hantu. Imajinasi penuh khayal hasil kompilasi media televisi telah menanamkan tiap-tiap detail karakter hantu sesuai daerah, negara bahkan warna pakaiannya. Meskipun agamaku terus saja tak henti-hentinya menanamkan ideologinya untuk tidak takut dengan hantu. Tapi namanya perasaan seseorang, tentunya tak seorang pun mampu menjaga bahkan mengontrolnya. Tapi rasa penasaran mengalahkan “ketakutanku” untuk terus mendengarkan.

“Tiap malam suara itu memanggil dengan suara sedikit kecil tapi cukup terdengar sampai ke dalam rumah Yah. Nah ketika bunda lihat di luar, sama sekali sepi tidak orang satu pun,“ lanjutnya menceritakan, “Hana malah sempat beberapa kali nangis Yah ketika keluar rumah. Apa dia lihat hantunya ya Yah?”

“Masa sih mbak sampe kayak gitu?” temanku ikut menimpali. Teman sekantorku ini sedikit banyak tidak terlalu percaya dengan hantu. Mungkin karena seringnya dia nonton acara-acara yang berbau logic dan edukasi, atau bahkan sekalian futuristic dan scifi. Segala hal yang berbau mistis pasti akan disanggahnya dengan logika ala dia.

“Iya om, nie tadi Hana juga kayak habis lihat,” jawab istriku.

Aku masih diam manggut-manggut. Sesekali kepalaku mendongak untuk membiarkan kedua pandanganku bergulir ke setiap kisi-kisi jendela, sesekali berharap - meski tidak – melihat sosok hantu yang tengah diceritakan istriku. Suasana luar yang begitu gelap menahan pandanganku untuk menginterogasi bahkan ke setiap bekas sarang laba-laba yang masih menempel di teralis jendela.
Dan waktu serasa bergulir cepat hingga telah beranjak di pagi dini hari kemudian. Ketika kudengar suara temanku membisikkan sesuatu.

“Mas... Mas... iyo mas aku dengar suara itu. Kali ini dia manggil namaku,” serunya pelan di dekatku.

Memaksaku untuk mempertajam pendengaranku dengan seksama. Saat itu aku lupa dimana istri dan anakku tidur. Hanya aku dan temanku yang saat itu berkecamuk dengan degup jantung, ketika suara itu kembali terdengar.

“Hendaraaa... Hendaraa...” suara itu kembali mengalun pelan.

Kecil tapi terasa jelas sekali di telinga. Temanku diam. Aku mempertajam pendengaran sekali lagi, dan suara itu kembali terdengar. Aneh, kenapa dia tak memanggil namaku? Kenapa dia memanggil nama temanku bukan dengan nama asli tapi dengan nama facebook? Tapi entah tak lagi aku pusingkan hal itu.

“Mas Wahyu, diluar gak ada apa apa iks,” suara temanku membuyarkan analisaku sesaat tentang nama tadi.

“Masak Ndro?” tanyaku sekaligus menimpali pernyataan Hendra tadi.

Temanku mengangguk mengiyakan. Sedikit masih berbalut notasi degup jantung, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke pintu depan. Suara itu masih sesekali terdengar. Tapi kembali, rasa penasaran itu sudah mengalahkan ketakutanku.

Brak!

Pintu aku buka dengan cepat. Temanku menyusulku di belakang. Aku kaget. Degup jantungku kembali berangsur normal. Berubah menjadi rasa marah.

Tampak di pandangan mataku, seseorang yang sedikit kucel rambutnya. Pada bagian kedua matanya, diwarnai dengan darah kental. Bagian pergelangan tangan dan seluruh tubuh pun ikut dilumuri warna hitam sedikit kehijauan. Pandangan mata laki-laki itu bertatapan dengan pandangan kedua mataku. Membelalak. Kaget sepertinya. Hening sejenak.

“Mas, kok pas kamu keluar, si hantu menjadi kelihatan?” temanku menanyakan.

“Nganu Ndro, kalo ada orang apapun punya ilmu apa lah gitu, kalo di dekatku ilmunya pasti akan langsung hilang dan gak berfungsi,” jawabku dengan jelas. Seolah-olah aku mempunyai sebuah anugerah untuk membuka setiap ilmu hitam yang berada di sekitarku yang berniat jahat.

“Weis sangar mas, nak nu ojo-ojo kowe yo duwe batu raja?” tanyanya sekali lagi yang tidak aku jawab. Ah dia terlalu dalam menikmati setiap cerita di kamen rider.

Kulangkahkan kakiku maju menuju ke laki-laki tersebut. Kemudian rambut kucelnya aku pastikan tergenggam erat di sela-sela jemari tangan kananku. Kujambak dan kugeret dia menuju ke halaman depan, diantara melati dan pohon salam. Tampak Pak Bambang, tetanggaku yang tubuhnya sedikit tinggi, tidak terlalu gemuk dan berambut keriting, berjalan menuju ke arah berlawanan dariku. Kupanggil beliau dan aku minta untuk membantuku untuk mengikat pergelangan si laki-laki hantu jadi-jadian, juga pergelangan kakinya, serta seutas tali rafia berwarna kuning dimana ujungnya diikatkan dengan sebilah pisau yang tergantung.

“Pak Bambang, mau kemana?” tanyaku singkat membuka percakapan.

“Eeh...ini mau ke tempat pak Surat, pripun dek?” jawabnya kemudian.

“Pak minta tolong ini deh pak. Ikatkan ini di tangan, kaki lalu lehernya dibeginikan,” aku tak pandai mengolah kata dan memberikan penggambaran simbol, tapi aku rasa Pak Bambang tahu yang aku maksudkan.

Sama sekali tak terpikir nalarku kenapa aku melakukan hal ini. Seperti mengalir begitu saja. Dan tahu-tahu laki-laki itu sudah terikat dan tubuhnya telah terhempas ke tanah. Tak terlalu keras jadi dia pun tak mengaduh.

Hei dimana Hendra? Aku tak melihatnya tiba-tiba, tapi itu pun tak membuatku memikirkannya begitu dalam. Seolah-olah hilang begitu saja. Lalu sekejab sudah berkerumun orang-orang yang beberapa bahkan aku tak mengenali wajahnya sebagai siapa yang berperan sebagai apa. Seperti baru saja aku melihat dan mengenali wajahnya, tapi tetap saja aku berlaku wajar seakan-akan mereka sudah aku kenal sebelumnya.

Dan kemudian muncullah istriku yang menggendong anakku. Entah darimana dan tiba-tiba sudah berada di dekatku. Anakku sudah tak lagi menangis seperti di sebelumnya. Kulangkahkan kakiku keluar dan mendadak sudah ada sekitar 6 hantu jadi-jadian yang kesemuanya pun sudah terikat seperti laki-laki pertama yang kutemukan sebelumnya. Kumasukkan tanganku ke dalam saku baju untuk kemudian kukeluarkan sebuah coklat BETTER. Hah Better?

Aku kemudian masuk kembali ke halaman dalam. Masih ada di pandangan mataku, laki-laki hantu jadi-jadian pertama tadi masih tergeletak dengan pandangan mata sayu mengarah ke arahku. Kutendang tubuhnya dari semula tergeletak sedikit miring, menjadi terkapar mlumah ke atas. Tubuhku sedikit condong ke bawah. Jongkok sedikit. Meski sedikit terganjal perutku yang membuncit.

“Sebenernya apa maksudmu melakukan ini? Golek ilmu aneh-aneh kemudian menjadi hantu jadi-jadian lalu menakuti keluargaku, apa maksudmu? Apa yang kamu mau?” tanyaku tegas kepada laki-laki itu sembari mengunyah coklat Better yang masih kupegang.

Matanya sendu memandang ke arahku. Tangannya berusaha meraih coklatku. Aku tepis dengan segera. Kepalanya menunduk. Sedikit kasihan kemudian aku lempar sisa coklat-coklatku ke arahnya. Tangan lelaki itu bergegas meraihnya. Pelan-pelan mengarahkan tiap jengkal coklat itu ke arah mulutnya. Kemudian gigi-gigi dari atas dan bawahnya mulai beradu. Mengunyah.

Kress!

“Sebenernya ada yang lain yang lebih serem dari aku, mas. Coba kamu lihat majalah BOBO yang terbaru”, ujarnya singkat. Hah Bobo?

Kriiiiiiinnggg.....

Alarm handphone kawan satu kontrakanku berdering dan membangunkanku dari tidur.