Archive for November 2011

Say No To War

Rabu, 30 November 2011 » 0

Entah kenapa ketika beberapa kali melihat tayangan di media televisi beberapa waktu ini, mendadak tak bisa melepaskan begitu saja dengan lagu dari Bang Iwan Fals yang berjudul Puing II. Yups, perang dimana mana, entah itu apapun tendensinya, yang jelas perang seharusnya bukan satu satunya jalan untuk menempuh perdamaian, apalagi jika tendensinya memang bukan untuk perdamaian melainkan kepentingan sepihak dari satu dua negara. Keparat memang.

Perang hanya akan semakin membuat menderita rakyat kecil. Rakyat kecil hanyalah manusia manusia Tuhan yang hanya menginginkan bertahan hidup diantara persaingan hidup yang semakin menjadi. Tidak pernah mempunyai keinginan semewah para penguasa. Sesederhana itulah keinginan mereka. Sementara para penguasa dengan mengatasnamakan rakyat kecil, dengan mengatasnamakan keadilan, dengan mengatasnamakan apapun kemudian mengangkat senjata lalu memproklamirkan perang.

Dan memang pada akhirnya semua tahu bahwa keinginan perang itu dimunculkan demi keinginan lain yang merupakan kepentingan beberapa negara. Perebutan lahan minyak dan jual beli senjata menjadi salah satu tendensi terkuat. Lalu apa yang akan didapatkan oleh mereka para rakyat kecil baik dari negara yang mencetuskan perang maupun negara yang diperangi? Tidak ada! Nihil!

Perang hanya akan membuat yang sombong semakin sombong, yang tamak menjadi semakin tamak. Dan yang jelas membuat mereka yang sengsara menjadi semakin sengsara. Semakin menderita.

So...SAY NO TO WAR!

Puing II

Perang perang lagi...Semakin menjadi
Berita ini hari...Berita jerit pengungsi

Lidah anjing kerempeng...Berdecak keras beringas
Melihat tulang belulang...Serdadu boneka yang malang

Tuan tolonglah tuan...Perang dihentikan
Lihatlah ditanah yang basah...Air mata bercampur darah

Bosankah telinga tuan...Mendengar teriak dendam
Jemukah hidung tuan...Mencium amis jantung korban

Jejak kaki para pengungsi...Bercengkrama dengan derita
Jejak kaki para pengungsi...Bercerita pada penguasa
( Bercerita pada penguasa )

Tentang ternaknya yang mati...Tentang temannya yang mati
Tentang adiknya yang mati...Tentang abangnya yang mati
Tentang ayahnya yang mati...Tentang anaknya yang mati
Tentang neneknya yang mati...Tentang pacarnya yang mati
( Tentang ibunya yang mati )
Tentang istrinya yang mati

Tentang harapannya yang mati

Perang perang lagi...Mungkinkah berhenti
Bila setiap negara...Berlomba dekap senjata

Dengan nafsu yang makin menggila...Nuklir pun tercipta
( nuklir bagai dewa )
Tampaknya sang jenderal bangga...Dimimbar dia berkata

Untuk perdamaian (bohong)
Demi perdamaian (bohong)
Guna perdamaian (bohong)
Dalih perdamaian (bohong)

Mana mungkin...Bisa terwujudkan
Semua hanya alasan...Semua hanya bohong besar

Getir

» 2

Rambutnya kusut, panjang tak terawat dan tak sedikit pun melambai bagai iklan televisi. Sesekali dua tiga ekor kutu berjalan menyisiri helai demi helainya. Wajahnya pias. Daster compang camping berwarna merah muda dan bermotifkan bunga-bunga yang tak lagi cemerlang warnanya membungkus dan menghiasi tubuhnya. Melorot sebelah dan memperlihatkan tali kutangnya yang juga telah berwarna usang. Kumal, dekil, lusuh dan aroma tubuhnya tak menyiratkan sekilas pun wewangian pabrik. Hanya kerumunan lalat yang berani dan bangga untuk mengitari diantaranya.

Sebuah sandal kucel berwarna biru menghiasi telapak kaki kanannya yang kusam, sementara tas plastik hitam sobek dan sedikit compang camping membungkus telapak kaki kirinya. Kuku di ibu jari kaki kirinya terlihat panjang dan patah menghujam ke atas. Tentu sakit sekali andai dia bisa merasakan.

Pandangan matanya kosong menatap ke depan. Nanar tak berujung namun menuju sebuah kepastian di depan. Seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang pernah direncanakannya di masa yang lampau. Masa lampau yang pernah dan hampir pasti menjadi bagian dalam sebuah kehidupannya.

Kusam kulit tubuhnya serta daki-daki yang menjadi bedak badannya, melayukan setiap pandangan mata kepadanya. Beberapa ikat karet gelang menghiasi lengan bawah tangan kirinya. Ujung-ujung kuku jari tangan kiri dan kanannya terlihat menghitam legam serta panjang tak terawat. Sementara tangan kanannya menggenggam erat sebuah kotak kecil berwarna merah.

“Kenapa kamu tidak datang? Kenapa kamu tidak jadi datang?”

Perempuan itu masih berdiri diatas tanah tempatnya semula berdiri. Kedua kakinya sedikit bergetar. Kelelahan. Mungkin. Telapak tangan kirinya mengepal keras. Matanya kembali sembab. Meneteskan air mata yang entah sekian kali telah keluar dari pelupuk matanya yang memerah. Bibirnya bergumam tak jelas lirih. Sementara itu jemari-jemari telapak tangan kanannya bermain dengan kotak kecil merah hatinya.

Tak jelas karena apa, mungkin saking kelelahan, kotak kecil berwarna merah hati itu terlepas dari genggamannya. Melayang jatuh ke tanah. Tutupnya membuka. Sepasang cincin emas terlihat terlempar keluar dari dalamnya. Lalu tergeletak diam. Sebuah cincin bertuliskan ARDHIAN, dan sepasang cincin lain bertuliskan nama RIANI. 

Di belakang perempuan itu berdiri, seorang ibu setengah baya berdiri. Wajah ibu itu memperlihatkan kesedihan serta kegetiran yang tak mampu dilukiskan. Derai air mata membasahi kedua pipi sang ibu yang telah mengeriput karena usia.

“Riani, ayo pulang nak. Ikhlaskan dia...ikhlaskan...ibu mohon...”

Perempuan itu tetap diam. Matanya tetap nanar memandang kosong ke depan. Lurus ke depan. Di depannya terpampang puing-puing sebuah jembatan yang pernah ambruk sekian lama dan telah memakan korban puluhan nyawa. Bibirnya tersungging senyuman hambar. Lalu bergumam lirih.

“Kamu jadi datang melamarku hari ini sayang?”

Bukan Yang Dulu

Selasa, 08 November 2011 » 3

Sudah bukan yang dulu lagi. Memang. Laki-laki itu terdiam di sudut ruangan diantara batas sempit antara khayal, ide, imajinasi serta kenyataannya. Merenung seraya memainkan pensilnya diantara gempal jemari-jemarinya sendiri. Matanya nanar memandang ke depan, layar monitor yang bisu balas memandangi. Selembar kertas yang tak lagi putih terbujur kaku, tak jauh darinya terdiam.

Dulu dia adalah laki-laki dengan dada terbusung. Bukan perwujudan kesombongan. Tapi sebuah kebanggaan. Bangga sebagai seorang pegiat seni tanah negeri. Sepeser demi sepeser keping logam serta lembaran kertas bernominal dia kumpulkan tiap bulannya. Meski tak begitu manusiawi. Karya demi karya dia kumpulkan satu demi satu. Waktu demi waktu dia lalui. Perbedaan ruang dia libas. Semua demi sebuah kebertahanan hidup dari gerusan jaman. Dan dia tetap bangga.

Dulu dia adalah laki-laki dengan kepala terdongak. Semata hanya karena demi berusaha menyusun tenaga untuk bersaing dengan mereka-mereka yang telah mendahului menjadi legenda seni tanah negeri. Berbagi setiap ide dan imajinasi. Berdiskusi. Semua demi sebuah tujuan. Hanya satu tujuan. Agar kerja seni seperti itu dipandang, diakui dan dihargai dengan manusiawi.

Dulu. Itu masanya dahulu.

Laki-laki itu kini bergumul dengan keabsurdan seni yang tengah dia lakoni. Apakah aku masih seperti dulu, tanyanya pada dirinya sendiri. Laki-laki itu tak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terkulai. Semua ide dan imajinasi yang dulu dia bangga-banggakan telah terburai. Bercampur dengan rengekan demi rengekan industri.

Idealismenya kini telah dirantai di sebuah jeruji. Begitupun ide serta imajinasinya. Diplakat dengan lembaran-lembaran kertas transaksional. Hanya sedikit daya khayalnya yang masih berkeliaran kesana kemari. Meski batasan-batasan jeruji ada disana sini.

Sudah bukan yang dulu lagi. Laki-laki itu sudah bukan yang dulu lagi. Ironisnya dia tak lagi manusia berjenis kelamin laki-laki, yang dulu juga kerap dia bangga-banggakan. Dia kini telah menjelma menjadi mesin, bisiknya dalam hati. Mesin pengeruk keuntungan demi rengekan industri. Meraung!