Archive for Desember 2010

(Sepertinya) Tidak Perlu Judul

Jumat, 10 Desember 2010 » 0


Bermula ketika sebuah dering nada memecah kesunyian pada sebuah pagi dan menarik ulu hati menuju sebuah dimensi baru. Serta merta tanpa harus meninggalkan secarik pesan pada kolong langit, berkepaklah semangat itu menyambut dimensi baru itu. Bahkan meski tanpa kekasih pun tetap tersisa kerelaan untuk melayang sendiri ditemani percik-percik embun. Aspal jejalanan pagi itu masih mengaromakan wangi pegiat pagi, ketika langkah-langkah tertatih itu kemudian segera bergegas. Langkah yang memang sedikit rapuh nyaris tak mampu beralun. Mengingatkan pada semasa yang telah lama teronggok di belakang teras mimpi lama.

Sudah lama sekali beberapa purnama hangus, ketika semangat itu tengah kuat-kuatnya mengepak angin. Ketika sentakan angin sedemikian kuat, tubuh pun masih kuat tanpa pernah sedikitpun limbung. Berjejal-jejal wewangian langit sempat menggergaji urat-urat nadi tapi itu tak membuat semangat punah. Bahkan semakin bertimbun. Dan berbondong-bondonglah kucuran keringat saling menuai benih-benih yang telah ditanam seribu abad lamanya. Hingga akhirnya kepak-kepak itu menyinarkan sebuah cahaya terang. Meski kemudian terang itu hanya sesaat dan lalu meredup ketika gerumbulan mendung turut mengais benih-benih yang bersebaran nyaris tidak terlindung. Lalu buyarlah seketika. Terburailah semua asupan kendi semangat yang selama ini disusunya pelan-pelan. Bahkan ketika benih-benih itu dipaksa untuk mengalir dalam ketidaksadaran pun tak mampu dibendung. Bukan itu saja sebab bulir tergemuk pun dipaksa untuk menggelinding pelan untuk dikaisnya dengan penuh birahi peranakan sejuta ambisi dan nafsu.

Begitu saja lalu sepi. Seribu aksara pun tak pernah menjelma menjadi raksasa yang bersenjata. Meranggas dengan seketika tanpa mampu menoleh lagi menuju ke titik mula. Aroma kekeringan semakin menjilat-jilat seolah tak berdosa pada untai semangat yang nyaris hilang tak termuseumkan itu. Lalu lahirlah sebuah teror ketakutan pada sebuah kuncup pagi. Di sisi lain taring-taring hegemoni pasaran, mulai ditancapkan. Sakit. Merintih. Perih. Sebab taring itu menancapkan benih baru yang busuk dan beraroma bangkai di punggung, sehingga menjalarnya seperti raungan anjing yang mampu mengoyak kelambu malam.

Hingga terdengarlah dering itu. Dering yang sampai ketika daun nantinya tak lagi berwarna hijau pun, akan tetap membuatnya menitipkan jilatan rasa syukur pada sebatang pohon enau. Semangat yang nyaris tak bisa dikepakkan itu tertatih-tatih meregangkan raganya menuju dimensi baru yang dideringkan. Penuh dengan nuansa yang belum pernah dikabarkan langit kepada bumi bahkan jauh-jauh masa sebelumnya. Dan kemudian tubuh kesakitan itu bersatu dan bergumul dengan tubuh-tubuh lain. Saling melindungi dari curahan dengus-dengus liar yang mencoba membunuh dan menghentikan urat syaraf dan nadi seperti yang telah mencoba mencabiknya di semasa silam.

Itu adalah pada sebuah hari di sebuah masa ketika titik hari nyaris berakhir dan berganti kelamin pada minggu di esoknya. Yang akan tetap mengingatkannya pada sebuah hari di penghujung akhir serta sebuah hari di titik mula. Bahwa disana pernah tertancap sebilah perih.

Selamat hari Hak Asasi Manusia. Selamat memerdekakan keasasian hak kemanusiaan masing-masing. Hak asasi untuk hidup dan bertahan pada sebuah arus jaman yang nyaris menggerus generasi.