Archive for Agustus 2010

Sebuah Senja di Alun-Alun Utara

Rabu, 18 Agustus 2010 » 4

Agaknya aku harus sedikit menunda perjamuanku dengan cemilan khas istriku dari beberapa peliharaan menit demi selesainya beberapa rajut kerjaan. Biasanya sedikit lebih awal sebelum senja menanggalkan usia, aku telah melempar senyum dan menangkupkan kecupan manis di kening istriku. Tapi di awalan puasa ini,  agaknya aku harus memenggal puasa di penghujung buka yang memang semestinya namun di tempat yang tidak biasanya. Jarum waktu menghentakkan detakan jamnya yang ke lima serta ketukan menitnya yang ke tigapuluh, ketika aku menapaki anak tangga kantor untuk segera melibas aspal jejalanan malioboro bersama sepeda motor klangenanku (kesayanganku.red). Deru debu jalanan serta asap knalpot yang disemburkan tak membuatku melepuhkan harapan untuk pulang. Dengus liar klakson dari mereka yang juga ingin menyegerakan melahap saji-sajian buka puasa pun saling bersahutan. Aku terus melaju.

Sebuah angkringan di sudut alun-alun utara terlihat begitu menjanjikan untukku berbuka puasa disana, mengingat kumandangan adzan Magrib sebentar lagi akan diperdengarkan. Tampak beberapa orang telah lebih dulu duduk, melipat kaki sembari mengobralkan suara-suara tentang kehidupan di satu hari ini, dari sahur di Subuh hari hingga Rumah Aspirasi. Lalu aku datang. Sedikit mempermisikan diri lalu memesan segelas es teh kental manis gulanya tak seberapa. Kursi angkringan yang telah penuh menggeserkan niatku dan duduk di selembar tikar yang berbalut rajutan kumal. Nyaman, batinku berbisik. Lalu sedikit mengoletkan keselonjoran kaki agar otot-ototnya bisa bersorak-sorai tak lagi berbelit tegang.

Sayup-sayup sebuah nada genjrengan gitar terdengar menghampiri. Seorang pemuda berbaju lusuh bergitar mengumandangkan bait-bait nada lagu band jaman sekarang dengan tak kalah palesnya. Jari-jemarinya memainkan kunci-kunci birama yang sedikit mlengse dari aslinya, tapi tak apalah toh hanya beberapa bait saja yang diperdengarkan sebelum akhirnya uluran selembar uang dari tanganku pun berpindah kepemilikan, lalu selesai. Sedikit berbangga, karena meski selembar tapi aku rasa itu adalah sebuah nilai nominal yang cukup besar untuk sang pemuda. Bisa jadi pula aku adalah manusia satu-satunya yang mengulurkan uang kepadanya dari deretan para manusia yang menunggu di angkringan ini.

Tapi impian itu hanya sesaat karena sesaat kemudian impian itu langsung kandas dan pupus sudah. Sebelahku duduk, orang yang tak lebih rapi dariku, mengulurkan selembar juga namun dengan nominal yang lebih besar. Aku tersenyum kecut. Bahkan deret manusia di angkringan itu menguluri semuanya. Pemuda itu tersenyum lebar, sedangkan aku tersenyum kecut. Sebelumnya aku berharap aku adalah satu-satunya yang menjadi sang pemberi kebahagiaan pada pemuda tersebut. Hingga tanpa aku sadari, di depanku telah berjongkok seorang ibu tua yang menengadahkan telapak tangannya meminta sebersit belas kasihan. Ada beberapa keping uang di sakuku yang jumlahnya tidak seberapa namun cukuplah untuk kuberikan pada ibu tua di depanku. Lalu terulurlah tanganku memberikan beberapa keping uang itu padanya. Ibu tua itu lalu bergeser ke sebelahku. Jemari tangan laki-laki di sebelahku bergeleng yang menandakan tidak memberikan sekeping pun belasnya. Aku menatap laki-laki di sebelahku. Merasa agak tidak rela dengan perlakuan laki-laki di sebelahku yang seolah-olah mempermainkanku. Ibu tua itu lalu bergeser. Dan bergeser. Tapi tidak ada satupun yang memberinya uang selain aku. Aku makin gusar. Rasa dipermainkan oleh sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, semakin merajam-rajam hatiku.

Tapi itu tidak lama, karena kemudian aku lihat si pemuda pengamen tadi mengulurkan beberapa lembar uangnya kepada si ibu tua. Mereka saling tersenyum. Lalu keduanya memesan minum dan makan di angkringan. Untuk kesekian kalinya aku tersenyum kecut. Ini adalah sebuah pertunjukan yang indah dari Sang Maha Penyayang dan Pengasih. Ini adalah sebuah makna dari puasa yang sesungguhnya. Bukan hanya menahan nafsu dari rasa lapar, haus atau segala nafsu duniawi saja, namun juga menahan hawa nafsu yang timbul saat kita mencoba untuk berbuat baik. Niat baik yang bermetamorfosa menjadi kesombongan kecil itulah yang juga akan menjadi algojo atas batalnya pahala puasa kita. Ramadhan memang waktu yang tepat untuk melatih segala kesabaran, ketahanan serta keikhlasan hati dalam menjalani perca-perca kehidupan. Aku tersenyum. Tuhan, pertunjukkanmu benar-benar unik. Ibu tua dan pemuda pengamen itu lalu duduk berdua di sampingku. Aku mengulurkan tanganku dan menyalami mereka berdua, mempersilahkan kepermisian mereka. Lalu adzan pun lantang berkumandang. Selamat menjalankan puasa.
Semoga Ramadhan tahun ini lebih baik dari Ramadhan tahun lalu.

[sebuah sore di satu angkringan alun-alun jogja]

Tradisi Menjelang Puasa

Selasa, 03 Agustus 2010 » 2

Siang itu matahari masih bersinar tapi teriknya yang memangkas segala kerinduan bumi pada tangis langit tak terlalu digubris manusia-manusia muda yang berlarian riang. Langkah-langkah mungil yang menapaki cepat gurat-gurat bumi itu menuju ke sebuah pemakaman. Sekurangnya lima wajah lucu menyembul diantara pepagaran makam. Pandangan mereka agaknya berusaha untuk menjelajahi keseluruhan pemakaman. Hingga kemudian senyum riang tersungging di wajah mereka, saat terlihat oleh mereka sepasang suami istri dan seorang anak kecil tengah berjongkok di sebuah batu nisan. Kelimanya masih menunggu. Sambil sesekali bersenggolan canda ria layaknya anak-anak merdeka lain di bumi yang belum merdeka sebenarnya. Kaos oblong, celana kolor tanpa memakai sandal adalah kostum keseharian lima manusia-manusia penerus masa depan yang akrab serta penuh canda tawa tersebut.

panduan kaligrafi
Sementara itu, sepasang suami istri dan seorang anaknya tampak telah berdiri, mengusaikan keberjongkokan mereka pada batu nisan. Langkah demi langkah mereka menuju pintu pagar makam, disambut senyum ramah kelima anak. Sang suami, memasukkan jemari tangan kanannya ke dalam saku celana, lalu kemudian telah terlihat lima keping uang seratusan rupiah. Masing-masing anak diberikannya sekeping seratus rupiah. Terimakasih lah, kata yang kemudian mengalun ramah dari mulut-mulut kelima anak. Sang suami dan istrinya tampak tersenyum. Kelima anak itu lalu berlarian riang meninggalkan pemakaman menuju ke warung jajan.

Yup, itu hanya narasi semata dari sebuah tradisi “Golek Wong Ngirim”. Sebuah tradisi yang acap dilakukan oleh anak-anak kecil di desa-desa seusai tradisi “Nyadran” dilakukan. Tradisi pemberian uang jajan dari para penjenguk makam yang selesai “Nyekar” kepada anak-anak kecil yang telah menunggu di pintu makam untuk menerima uang berkah dari para peziarah. Nyadran itu sendiri adalah sebuah laku tradisi berupa pemberian doa dari para ahli waris makam dalam sebuah pengajian yang kerap dilakukan di dekat area pemakaman. Biasanya para ahli waris akan membawakan masakan ala kadar yang dibungkus bisa kardus bisa besek. Lalu ada bungkusan kecil yang diberikan kepada Mbah Kaum (pemimpin agama lokal yang dituakan dalam sebuah lingkup kampung) juga kepada mereka yang tidak mampu membuat. Nyekar (berasal dari kata sekar/bunga) adalah sebuah tradisi menziarahi leluhur di pemakaman, biasanya selesai berdoa, dilanjutkan acara menaburkan bunga di pusara makam.

Masihkah tradisi-tradisi itu ada dan dilakukan? Bukan tidak mungkin tradisi itu seiring waktu akan dilahap jaman. Mengingat bahwa upaya untuk melestarikan serta nguri-nguri kebudayaan terutama yang ada hubungannya dengan leluhur sudah mulai dilupakan. Kalaupun tidak melupakan, lalu akan diganti dengan istilah pengharaman tradisi lalu menggantinya dengan tradisi lain yang sama sekali bukan tradisi ketimuran setempat. Dan kita akan semakin hilang jati diri kenusantaraan kita sendiri.  
Mari kita jaga benteng kebudayaan kita, sebab jika bukan kita lalu siapa lagi?